Kamis, 04 September 2008

MENGUAK HARI RAYA PENTAKOSTA DAN GERAKANNYA PADA MASA KINI

BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG PENULISAN
Pentingnya pemahaman yang benar akan setiap Firman Tuhan yang ada di dalam Perjanjian Lama dan juga di dalam Perjanjian Baru, serta demikian juga pada khususnya di dalam kesempatan ini yaitu salah satu dari tujuh hari raya bagi Tuhan untuk turun temurun, sebagai ketetapan untuk selamanya.
Ketujuh hari raya itu ialah : Empat perayaan yang pertama, yaitu; Hari Raya Paskah, Hari Raya Roti Tidak Beragi, Hari Raya Buah Sulung dan Hari Raya Pentakosta- membawa kita dari semenjak dimulainya musim semi hingga pengumpulan panen gandum, kemudian ke tiga perayaan musim gugur yaitu: Hari Raya Peniupan Nafiri, Hari Raya Pendamaian dan Hari raya Pondok Daun. (Im.23:1-44).
Dua kelompok Hari Raya ini juga berketetapan dengan dua musim hujan yang terjadi dalam setahun. Musim semi memberikan hujan awal kemudian hujan akhir datang pada musim gugur.
Nabi Hosea mengerti bahwa musim dan siklus hujan adalah citra gambaran tentang hal-hal yang akan datang. Diilhami oleh Roh Kudus, ia menulis tentang Roh Kudus, dia menulis tentang Mesias yang berbunyi “ Ia akan datang kepada kita seperti hujan pada akhir musim yang mengairi bumi (Hos.6:3; Yl 2:23).
Hosea menjelaskan bahwa Tuhan Yesus Kristus, seorang Mesias akan datang dua kali yaitu: sekali ketika hujan awal, kedua ketika hujan akhir. Empat hujan awal yaitu:Paskah, Roti Tidak Beragi, Buah Sulung dan Pentakosta, adalah tindakan-tindakan satu sampai empat dalam persiapan Allah dalam drama kedatangan Kristus yang kedua kali.

Penggenapan nubuat dari hari-hari raya tersebut terbentang di belakang kita. Namun jarum-jarum jam Allah adanya bergerak dengan cepat. Sebagaimana keempat hari raya yang pertama memprediksikan apa yang sekarang terbentang dalam sejarah, maka ketiga hari raya yang berikutnya akan menolong kita untuk memperhitungkan apa yang terbentang di depan.
Dan dalam hal ini penulis hanya memilih untuk menuliskan salah satu ketujuh hari raya tersebut di atas yaitu “MENGUAK MAKNA HARI RAYA PENTAKOSTA DAN GERAKANNYA PADA MASA KINI”.

Adapun alasan memilih tulisan tersebut ialah karena orang-orang Kristen sering kali salah mengasumsikan, yaitu bahwa hari-hari raya ini hanyalah khusus bagi orang-orang Yahudi, Pada dasarnya bukanlah demikian tetapi yang jelasnya adalah bahwa hari raya Pentakosta adalah untuk ketetapan selamanya bagi Allah turun-temurun disegala kediaman umat Allah. Semua orang Yahudi dan bukan Yahudi memiliki hak untuk menggunakannya.

2. IDENTIFIKASI MASALAH
Pokok-pokok permasalahan dalam tulisan ini bertitik tolak pada :
2.1. Pemahaman tentang arti dan makna hari raya Pentakosta.
2.2. Pemahaman tentang arti dan makna nubuatan hari raya Pentakosta.
3. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas maka perumusan masalah yang penulis kemukakan adalah:
3.1. Suatu pemahaman antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tentang hari raya Pentakosta.
3.2. Pentingnya makna Pentakosta bagi gereja zaman sekarang.
3.3. Tanpa Roh Kudus (kelahiran kembali) tubuh sanggup melihat Kerajaan Allah (Yoh. 3:3).

4. METODE PENULISAN
Penulis menggunakan metode studi hubungan teologis antara Perjanjian lama dan Perjanjian Baru ditambah dengan buku-buku Teologi dan kamus ensiklopedi tentang Alkitab sebagai tolok ukur holikultur sepenuhnya.

5. HIPOTESA
Titik tolak dari hipotesa ini adalah :
4.1. Hari raya Pentakosta tersebut dimaksudkan untuk menarik pikiran dan hati manusia mendekat kepada Allah.
4.2. Hari raya Pentakosta tersebut adalah sebuah waktu persekutuan dari sukacita yang indah.
4.3. Hari raya Pentakosta tersebut menggambarkan kebenaran rohani yang luar biasa dalam membentuk rencana Allah bagi segala abad.


BAB II
PENTAKOSTA PADA ZAMAN PERJANJIAN LAMA

1. Definisi / arti Hari Raya Pentakosta.
Adalah suatu perayaan pengucapan syukur bangsa Israel atas hasil panen gandum. Pesta itu dirayakan tujuh minggu (Yunani Pentakosta berarti kelima puluh) setelah hari Paskah. Sebab itu juga dikenal dengan nama “Hari Raya Tujuh Minggu” (Ul.16:10). Dalam Perjanjian Baru dihubungkan dengan turunnya Roh Kudus (Kis.2).
Kata bahasa Ibrani untuk “Roh” adalah ruah, suatu kata yang kadang-kadang diterjemahkan dengan “angin” atau “nafas”. Jadi acuan-acuan PL kepada nafas Allah atau angin dari Allah (mis. Kej.2:7; Yeh.37:9-10) juga dapat mengacu kepada karya Roh Kudus.

2. Perintah Allah tentang Hari Raya Pentakosta.
Tepat lima puluh hari setelah Hari Raya Buah Sulung, dirayakan perayaan dan pernyataan syukur atas selesainya panen. Walaupun perayaan ini hampir sama dengan Hari Raya Buah Sulung, namun Hari Raya Pentakosta, atau Shavuot (bahasa Ibrani untuk “berminggu-minggu”), jatuh pada masa akhir panen – bukan pada awal panen. Dengan demikian, orang-orang Israel akan mempersembahkan potongan roti panggang dan bukannya butir gandum mentah.
Allah melembagakan Hari Raya Pentakosta untuk mengingatkan umat-Nya bahwa semua pemberian yang baik dan sempurna itu berasal dari-Nya. Ketika orang-orang Israel membawa panen pertamanya setelah mencapai tanah perjanjian, ada kesukaan yang sangat
besar sementara mereka merayakan masa akhir panen.

“Kemudian kamu harus menghitung, mulai dari hari sesudah sabat itu, yaitu waktu kamu membawa berkas persembahan unjukan, harus genap tujuh minggu; sampai pada hari sesudah sabat yang ketujuh kamu harus hitung lima puluh hari; lalu kamu harus mempersembahkan kurban sajian yang baru kepada TUHAN. Dari tempat kediamanmu kamu harus membawa dua buah roti unjukan yang harus dibuat dari dua persepuluh efa tepung yang terbaik dan yang dibakar sesudah dicampur dengan ragi sebagai hulu hasil bagi TUHAN. Beserta roti itu kamu harus mempersembahkan tujuh ekor domba berumur setahun yang tidak bercela dan seekor lembu jantan muda dan dua ekor domba jantan; semuanya itu haruslah menjadi kurban bakaran bagi TUHAN, serta dengan kurban sajiannya dan kurban-kurban curahannya, suatu kurban api-apian yang baunya menyenangkan bagi TUHAN. Kemudian kamu harus mempersembahkan seekor kambing jantan sebagai kurban pengahapus dosa dan dua ekor domba yang berumur setahun sebagai kurban keselamatan. Imam harus mengunjukkan semuanya beserta roti hulu hasil itu sebagai persembahan unjukan dihadapan TUHAN, beserta kedua ekor domba itu. Semuanya itu haruslah menjadi persembahan kudus bagi TUHAN dan adalah bagian imam. Pada hari itu juga kamu harus mengumumkan hari raya dan kamu harus mengadakan pertemuan kudus, janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan berat; itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya di segala tempat kediamanmu turun temurun. Pada waktu kamu menuai hasil tanahmu, janganlah kau sabit ladangmu habis-habisan sampai ke tepinya dan janganlah kau pungut apa yang ketinggalan dari penuaianmu, semuanya itu harus kau tinggalkan bagi orang miskin dan bagi orang asing; Akulah TUHAN, Allahmu” (Im.23:15-22).

Perintah tentang Hari Raya Pentakosta diberikan beberapa tahun sebelum bangsa Israel benar-benar merayakan panen pertama mereka di tanah perjanjian. Setelah pelepasan orang-orang Ibrani yang ajaib dari Laut Merah, bangsa Israel mengembara selama empat puluh tujuh hari hingga mereka mencapai kaki bukit Gunung Sinai. Di sana Allah memerintahkan Musa agar mereka menyucikan diri. Selama tiga hari mereka membersihkan diri dan pakaian mereka, karena mereka adalah bangsa yang berdosa yang akan bertemu dengan Allah yang kudus.
Ketika Musa menyampaikan kepada bangsa itu keinginan Tuhan untuk bertemu dengan mereka, mereka menjawab, “Segala yang difirmankan TUHAN akan kami lakukan” (Kel.19:8). Dalam bahasa Ibrani jawaban mereka adalah “Na’aseh V’Nishmah,” yang berarti, “Kami setuju untuk melakukan bahkan sebelum kami mendengar”. Lima puluh hari setelah menyeberangi Laut Merah, bangsa Israel dengan takut dan penuh kesetiaan mendekati Gunung Sinai, gunung Allah yang hebat, untuk menerima Sepuluh Perintah Allah.
Ketika Musa naik ke atas untuk berbicara dengan Allah, bergetarlah permukaan tanah dan tiupan angin yang hebat menderu di dataran padang gurun tersebut. Api berpijar di puncak gunung. Menurut Midrash, sebuah komentar rabinik tentang Alkitab, ketika Allah memberikan Torah Ia memperlihatkan keajaiban yang tak terkatakan kepada bangsa Israel melalui suara-Nya. Allah berkata dan suara-Nya bergema di seluruh dunia, dan semua orang menyaksikan guruh mengguntur (Kel.20:18). Menurut tradisi Yahudi, ketika Allah berbicara kepada Musa, Ia tidak hanya berbicara dengan bahasa Ibrani, namun suara-Nya terpecah ke dalam tujuh puluh suara, dalam tujuh puluh bahasa, sehingga seluruh bangsa akan mengerti
Mengapa tujuh puluh bahasa ? Dalam Kitab Ul.32:8-9 Alkitab memberi tahu kita bahwa ketika Sang Mahatinggi “memisahkan keturunan Adam (Kej.11:8), Ia menetapkan batas-batas wilayah bangsa-bangsa [dunia] menurut bilangan anak-anak Israel”. Kel.1:1-5 mencatat bahwa jumlah anak-anak Israel yang pergi ke Mesir atas undangan Yusuf adalah tujuh puluh jiwa, inilah penyebab dari pemikiran para rabi yang percaya bahwa Allah berbicara dalam tujuh puluh bahasa.
Pada hari Pentakosta, di puncak Gunung Sinai, Allah menetapkan sebuah tingkatan bagi masa depan. Sementara Ia mengarahkan orang-orang yang terlibat dalam drama Pentakosta-Nya, Allah menulis nubuat dalam sebuah alur dan menunjukkan bagaimana Ia merencanakan untuk menjangkau seluruh bangsa bukan Yahudi. Bangsa Israel tidak mengetahuinya, namun ketika mereka mendengar bunyi sangkakala dan melihat api Allah turun ke atas Sinai di tengah-tengah tiupan angin yang kuat, mereka melihat apa yang akan Allah lakukan lima puluh hari setelah kebangkitan Yesusu Kristus!
Namun bangsa Israel tidak menyadari makna sepenuhnya dari pengalaman Gunung Sinai. Mereka tidak dapat mengerti gambaran tentang dua roti beragi yang dipersembahkan kepada Tuhan pada hari Pentakosta–satu melambangkan Israel, satu melambangkan gereja, keduanya dipilih oleh Allah dan dikuduskan di hadapan-Nya walaupun dosa, atau ragi,
masih ada di dalam diri mereka.
Namun bangsa Israel mengerti bahwa Allah telah memerintahkan agar mereka bersuka dan melakukan kemurahan selama masa Pentakosta. Semua orang harus beristirahat dari pekerjaan mereka pada hari itu, dan semua orang harus memperlakukan tetangganya dengan baik dan belas kasih. Sebagai sebuah peringatan, Allah memerintahkan agar tuaian tidak dipanen sampai habis – gandum di sudut-sudut ladang harus ditinggalkan tanpa gangguan, dan setiap gandum yang jatuh ke tanah harus dibiarkan. Dengan demikian orang asing di negeri tersebut dan kaum miskin dapat mengumpulkan dan memungut sisa-sisa gandum, sehingga tidak terjadi kelaparan.

3. Pelajaran dari kisah Rut.
Kita pasti akan teringat pada kisah tentang janda muda yang bernama Rut, seorang wanita Moab yang meninggalkan pusaka non-Yahudinya untuk berpegang teguh pada ibu mertuanya, Naomi, dan mengikuti Allah Israel. Rut memberi tahu ibu mertuanya, “Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab kemana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan dimana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam : bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku” (Rut 1:16).
Setelah kematian suaminya, Rut, seorang yang bukan Yahudi, melakukan perjalanan dengan ibu mertuanya ke kota Betlehem Israel. Mereka datang pada saat panen gandum, namun kedua wanita tersebut tidak memiliki ladang untuk dipanen. Karena tidak ada seorang pria yang menopang kehidupan, baik Rut maupun Naomi, maka Rut mulai memungut di ladang gandum Boas, seorang sanak dari Naomi. Kemudian Boas yang mulai mencintai, melindungi dan memelihara Rut, akhirnya menikahinya dan memberinya
seorang anak laki-laki.Anak lelaki itu,Obed,menduduki sebuah posisi istimewa dalam garis keturunan Raja Daud dan Kristus sendiri. Rut adalah nenek buyut dari Raja Daud,
yang mungkin adalah raja Israel yang terbesar!
Pelajaran dari kisah Rut adalah penting di masa Pentakosta, karena dalam kisah ini orang Yahudi diingatkan pada perintah Allah untuk bersikap murah hati kepada orang asing (Ams.21:13). Kitab Rut juga mengilustrasikan bahwa bangsa-bangsa bukan Yahudi yang menerima Allah Israel akan disambut oleh-Nya.
Saya mendapati bahwa adalah menarik bahwa kisah Rut juga menggambarkan karya Kristus sebagai penebus. Konsep tentang sanak penebus atau goel (bahasa Ibrani untuk “saudara dekat”) adalah sebuah gambaran penting dari karya Kristus. Yesus Kristus menebus kita, pendosa yang tak mempunya harapan, sebagaimana Boas menebus Rut dari kemiskinan dan kekurangan.
Menurut Alkitab, agar seorang sanak dapat menebus seorang jiwa yang sedang dalam keadaan kekurangan, ia harus memenuhi tiga hal. Seorang goel harus mampu membayar harga penebusan (Rut 2; 1 Ptr.1:18, 19); ia harus bersedia menebus (Rut 3:11 ; Mat.20:28; Yoh.10:15, 18; Ibr.10:7); dan ia sendiri harus bebas – sebagaimana Kristus bebas dari kutukan dosa.
Kata goel dalam bahasa Ibrani yang digunakan tiga belas kali dalam Kitab Rut yang pendek, memberikan sebuah gambaran akan karya perantara Kristus. Untuk menebus Rut, Boas membeli kembali tanah milik Naomi dan keluarganya, mengambil seorang wanita bukan Yahudi yang telah jatuh miskin menjadi istrinya, dan dengan penuh kasih mengangkatnya ke posisi yang tinggi.
Dengan cara yang sama, Yesus Kristus dengan rela memberikan hidup-Nya sebagai harga dari penyelamatan kita. Ia menebus kita dari utang dosa dengan sukacita dan mengadopsi kita sebagai ahli waris dari Kerajaan Allah. Menurut Paulus, bangsa-bangsa bukan Yahudi “tidak termasuk warga negara Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengaharapan dan tanpa Allah di dalam dunia. Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu yang dahulu ‘jauh’, sudah menjadi ‘dekat’ oleh darah Kristus” (Ef.2:12-13).
Tepat seperti Rut, yaitu seorang wanita bukan Yahudi dalam sebuah dunia Yahudi, tidak memiliki harapan masa depan bersama ibu mertuanya, Naomi, demikian juga kita orang-orang bukan Yahudi tidak memiliki harapan hingga ditebus oleh darah Kristus dan dicangkokkan pada pohon zaitub (Rom.11:24) untuk mengambil bagian dari berkat-berkat Abraham (Ke.12::1-3).

4. Karya Roh Kudus di dalam Perjanjian Lama.
Alkitab menguraikan berbagai aktivitas Roh Kudus di zaman PL, antara lain :
“Roh Kudus berperan aktif dalam penciptaan”. Ayat ke dua mengatakan bahwa “Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air” (Kej.1:2), bersiap-siap untuk firman kreatif Allah untuk membentuk dunia. Baik Firman Allah (yaitu oknum ke dua dalam Tri Tunggal maupun Roh Allah menjadi pelaksana dalam penciptaan (Ayb.26:13; Mzm.33:6). Roh juga adalah pencipta kehidupan. Ketika Allah menciptakan Adam, niscaya Roh Allah yang menghembuskan nafas hidup ke dalam dirinya (Kej.2:7; bd Ayb.27:3), dan Roh Kudus tetap terlibat dalam memberikan hidup kepada mahluk ciptaan Allah (Ayb.33:4; Mzm.104:30).
“Roh itu aktif dalam menyampaikan amanat Allah kepada umat-Nya”. Misalnya, Roh Kuduslah yang mengajar orang Israel di padang gurun (Neh.9:20). Ketika pemazmur Israel memanjatkan puji-pujian mereka, hal itu dilakukan dengan Roh Tuhan (2 Sam.23:2; bd Kis.1:16, 20). Demikian juga para nabi diilhami oleh Roh Allah untuk memberitakan Firman-Nya kepada umat itu (Bil.11:29; 1 Sam.10:5-6, 10; 2 Taw.20:14; 24:19-20; Neh.9:30; Yes.61:1-3; Mik.3:8; Zak.7:12; bd 2Ptr1:20-21). Menurut Yehezkiel, salah satu kunci untuk menemukan nabi palsu ialah bahwa mereka “bernubuat sesuka hatinya”dan bukan dari Roh Allah (Yeh.13:2-3).
“Kepemimpinan umat Allah pada zaman PL dikuasai oleh Roh Tuhan”. Musa, misalnya adalah seorang yang dipenuhi Roh Allah sedemikian rupa sehingga ia ikut merasakan perasaan Allah, menderita bersama-Nya dan menjadi marah terhadap dosa (Kel.33:11; bd Kel.32:19). Ketika Musa dengan taat memilih tujuh puluh tua-tua untuk membantunya memimpin bangsa Israel, Allah mengambil Roh yang ada pada Musa dan menaruh-Nya atas mereka (Bil.11:16-17), demikian juga ketika Yosua ditugaskan untuk menggantikan Musa sebagai pemimpin, Allah menunjukkan bahwa “Roh” ada di alam dirinya (Bil.27:18). Roh yang sama menguasai Gideon (Hak.6:34, Daud (1 Sam.16:13) dan Zerubabel (Zak.4:6). Dengan kata lain, syarat terpenting yang diperlukan untuk kepemimpinan adalah kehadiran Roh Allah.
“Roh Allah juga dapat datang atas orang-orang tertentu untuk membekali mereka bagi tugas khusus”. Contoh terkemuka dalam PL adalah Yusuf yang menerima Roh Allah untuk melaksanakan berbagai karya seni yang perlu dalam pembangunan Kemah Suci dan juga mengajar orang lain (Kel.31:1-11; 35:30-35). Pengertian “dipenuhi Roh Kudus” disini tidaklah sama dengan Baptisan Roh Kudus dalam PB. Dengan kata lain , dalam PL, Roh Kudus datang atas dan menguasakan hanya sedikit orang pilihan untuk pelayanan khusus bagi Allah (Kel.31:3). Roh Tuhan menghinggapi banyak hakim, seperti Otniel (Hak.3:9-10), Gideon (Hak.6:34), Yefta (Hak.11:29) dan Simson (Hak.14:5-6; 15:14-16); contoh-contoh ini menyatakan prinsip abad Allah bahwa ketika Dia memilih untuk memakai seorang secara luar biasa, Roh Tuhan turun di atas mereka.
“Juga ada sesuatu kesadaran dalam PL bahwa Roh Tuhan ingin menuntun seorang pada tingkat kehidupan benar” Daud menegaskan ini dalam beberapa mazmurnya (Mzm.51:12-15; 143:10). Umat Allah yang mengikuti jalan mereka sendiri dan tidak mendengarkan Allah, sebenarnya menolak untuk mengikuti jalan Roh Allah (Kej.16:2). Orang yang lalai sesuai dengan Roh Allah sudah pasti mengalami suatu bentuk hukuman Allah (Bil.14:29; Ul.1:26).
“Pada zaman PL Roh Kudus turun atas atau memenuhi hanya beberapa orang, meguasakan mereka untuk melayani atau bernubuat”. Tidak ada pencurahan Roh Kudus secara umum atas semua orang Israel (bd. Yl.2:28-29; Kis.2:4,16-18), pencurahan Roh dalam arti yang lebih luas ini baru dimulai pada hari raya Pentakosta (Kis.2).


























BAB III
PENTAKOSTA PADA ZAMAN PERJANJIAN BARU SAMPAI PADA MASA SEKARANG

1. Pentakosta pada zaman Kristus.
Beberapa tahun setelah Allah membawa bangsa Israel ke Tanah Perjanjian, Nabi Yeremia menulis sebuah nubuat yang luar biasa indah. Suatu hari, Allah berjanji, umat manusia akan mampu menaati-Nya karena Ia akan menciptakan mukjizat dalam hati setiap pribadi. Hukum Allah tidak akan diukirkan pada batu atau kertas, namun pada hati manusia yang terdalam :
“Sesungguhnya, akan datang waktunya, demikianlah firman TUHAN, Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda, bukan seperti perjanjian yang telah Kuadakan dengan nenek moyang mereka pada waktu Aku memegang tangan mereka untuk membawa mereka keluar dari tanah Mesir, perjanjian-Ku telah mereka ingkari, meskipun Aku menjadi tuan yang berkuasa atas meeka, demikianlah firman TUHAN. Tetapi beginilah perjanjian yang Kuadakan dengan kaum Israel sesudah waktu itu, demikianlah firman TUHAN: Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku” (Yer.31:31-33).
Para nabi dan bangsa tersebut menantikan perjanjian yang baru dan Mesias yang dijanjikan kepada mereka. Mereka mengeluh di bawah penindasan Roma dan berdoa agar Allah membebaskan mereka… dan Ia mendengar doa mereka . Pada masa Hari Raya Tujuh Minggu, lima puluh hari setelah hari Sabat Paskah, perjanjian yang baru itu ditulis di dalam hati mereka yang mau menerimanya.
Mari kita mundur selama setahun atau dua tahun sebelum Pentakosta yang luar biasa yang dikisahkan dalam Kitab Kisah Para Rasul. Pada masa Kekaisaran Roma, yaitu setelah pembangunan Bait Allah yang kedua, Hari Raya Tujuh Minggu atau Pentakosta adalah sebuah perayaan untuk bersukacita karena panan sukses dua tanaman penan – yaitu jelai yang matang pertama, dan gandum. Jika Anda mengingat, omer atau berkas gandum, dipersembahkan kepada Tuhan pada Hari Raya Buah Sulung, yang menandai dimulainya panen jelai. Pentakosta menandai berakhirnya panen gandum, dan disebut sebagai Yom ha-Bikkurim, yaitu hari untuk mempersembahkan potongan roti yang pertama kepada Allah.
Penulis Hayyim Schauss, yaitu pada masa Kristus, Pentakosta “tidak memiliki peran besar dalam kehidupan bangsa Yahudi… Jelas sekali bahwa Pentakosta adalah sebuah perayaan yang hanya dirayakan di Bait Allah, dan tidak tampak meluas di luar Yerusalem. Pertama kalinya perayaan tersebut menjadi penting adalah ketika perayaan tersebut menjadi perayaan pemberian Torah, di mana Allah menyatakan diri-Nya sendiri di Gunung Sinai .
Hari Raya Tujuh Minggu, atau Pentakosta, mungkin tidak sepenting Paskah, namun perayaan tersebut tetap merupakan sebuah perayaan ziarah, dan ribuan orang Yahudi kembali ke Yerusalem untuk memenuhi perintah Tuhan. Kota kuno tersebut dipadati dengan peziarah-peziarah religius, dan sekali lagi jalan-jalan dipenuhi suara-suara dan aksen orang-orang dari setiap ujung dunia.
Sembari mengingat bayangan tentang orang-orang Ibrani di Sinai, mari kita melihat
Kisah Pentakosta yang dicatat Lukas dalam Kitab Kisah Para Rasul. Hampir semua aspek
dalam pengalaman di Gunung Sinai diduplikasi, sementara 120 pengikut setia Kristus berkumpul di Ruang Atas, tempat Yesus mengadakan malam perjamuan terakhir. Sepuluh orang, minyan, adalah jumlah yang dibutuhkan oleh hukum Yahudi untuk mengadakan pertemuan doa yang baik. Sepuluh wakil dari setiap kedua belas suku Israel (total 120) berkumpul bersama, berusaha memahami mengapa Yesus memerintahkan mereka untuk “tinggal di dalam kota ini [Yerusalem] sampai kaum diperlengkapi dengan kekuasaan dari tempat tinggi” (Luk.24:49).

Sementara para pengikut Kristus berdoa di sebuah loteng, mereka bersatu dalam satu pikiran, satu hati, dan satu roh. Tiba-tiba, pengalaman Musa di Gunung Sinai terulang kembali.
Sebuah tipuan angin yang kencang memenuhi Ruangan Atas. Lidah-lidah api hinggap di kepala para murid sebagaimana api hinggap pada puncak Gunung Sinai. Tentu saja banyak dari mereka menyadari bahwa inilah yang telah diprediksikan oleh Yesus sendiri. Beberapa hari sebelumnya Yesus telah berjanji kepada para pengikut-Nya, “Tetapi kamu akan menerima kuasa bilamana Roh Kudus turun ke atas kamu” (Kis.1:8).
Pemberian kuasa datang dalam sebuah cara yang mengagumkan. Sebagaimana Allah berbicara di Gunung Sinai dalam setiap bahasa yang dikenal, demikian juga para murid mulai berbicara dalam setiap bahasa yang dikenal (Kis.2:6). Mereka yang tadinya takut-takut, kini dikaruniai keberanian yang kudus. Roh melimpahkan karunia ke atas setiap pria dan wanita sekarang ini, para rasul pencipta,, para nabi, penginjil, pendeta, guru, dan organisator.
Pemberian Sepuluh Perintah Allah di Gunung Sinai adalah sebuah ‘pelatihan’ bagi pemberian Roh Kudus di Bukit Sion.
Hubungan paralelnya :
Shavuot di Gunung Sinai Shavuot di Bukit Sion (di Ruang Atas Yerusalem)
Terjadi pada akhir kelima puluh setelah Laut Merah Terjadi pada hari kelima puluh setelah Hari Raya Buah Sulung
Perintah Allah dituliskan pada loh batu Perintah Allah dituliskan pada hati manusia (Yer.31:33; 2 Kor.3:3)
Perintah Allah ditulis oleh jari Allah Perintah Allah ditulis oleh Roh Allah (Ibr.8:10)
Tiga ribu orang mati
Tiga ribu orang dilahirkan kembali (Kis.2:38-41)
Kitab Torah diberikan Roh Torah dicurahkan (Rom.2:29; 7:6)


Api, angin dan suara gemuruh di Gunung Sinai adalah gambaran awal dari kuasa Pentakosta yang akan datang, dan oh, betapa hebatnya! Paulus menyatakan, “Sebab Kerajaan Allah tidak terdiri dari perkataan, tetapi dari kuasa” (1 Kor.4:20). Kisah Injil tentang kubur yang kosong adalah sebuah kisah tentang kuasa. Janganlah ada seorang pun yang salah mengerti pesan yang terkandung di dalamnya. Ada kuasa di dalam nama-Nya, kuasa di dalam Injil-Nya, kuasa di dalam gereja-Nya. Jika para rasul ingin menyanyikan sebuah lagu pujian kontemporer di Ruang Atas mereka tidak dapat memilih yang lebih baik dari “Hiduplah kuasa nama Yesus! Biarlah malaikat tersungkur tak berdaya; memberikan mahkota kerajaan, dan memahkotai-Nya sebagai Tuhan dari segalanya!”
2. Pentakosta dalam nubuat digenapi.
Persembahan Pentakosta berbeda dari persembahan Buah Sulung: Orang-orang membawa dua bungkal roti yang beragi, bukan seberkas gandum yang telah dipisahkan. Persembahan ini menunjukkan pada kesatuan antara orang Yahudi dan orang bukan Yahudi, yang terbentuk dengan datangnya Roh Kudus di hari Pentakosta.
Selama Paskah dan Hari Raya Roti Tidak Beragi, semua produk yang beragi, yang melambangkan dosa, harus benar-benar dihindari dan dijauhkan. Mengapa, kemudian, Allah justru memerintahkan agar roti yang dipersembahkan tersebut dibuat dengan ragi?
Paskah dan Hari Raya Roti Tidak Beragi melambangkan Yesus, Juruselamat kita, tidak berdosa. Akan tetapi, Pentakosta mengacu pada umat Israel dan gereja Yesus Kristus. Sayang sekali, kita masih mengenakan tubuh manusia dan memiliki kecenderungan untuk berdosa. Hingga kita mewarisi tubuh kebangkitan adikodrati kita, kita masih akan mengenakan tubuh yang penuh dosa. Oleh karena itu, potongan-potongan roti yang digunakan pada Hari Raya Pentakosta dibuat dengan menggunakan ragi.
Dalam Alkitab, angka dua adalah angka saksi dan persetujuan. Sebagai contohnya, Alkitab memberi tahu kita bahwa dua orang saksi akan menyatakan kebenaran (Mat.18:19-20; Yoh.5:31-33). Alkitab terdiri dari dua kitab:
“Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan” (Mat.6 : 24). Mark Twain mengatakan bahwa ayat ini memberikan bukti bahwa poligami tidak akan pernah berhasil!
“Ada seseorang mempunyai dua anak laki-laki” (Luk.15:11): Anak yang hilang, yang melambangkan dosa kedagingan, dan saudara sul;ungnya, yang melambangkan dosa dari roh. Di hadapan Allah, kedua anak itu sama berdosanya.
Ada dua perjanjian – satu diberikan dalam PL, satu diberikan dalam PB.
Berulang kali di dalam Alkitab hanya ada dua posisi yang dapat dipilih oleh seorang individu: diselamatkan atau terhilang, gandum atau lalang, domba atau kambing, surga atau neraka, terang atau kegelapan, hamba Kristus atau hamba iblis dan dosa.
Sepuluh Perintah Allah diukirkan pada dua loh batu di Sinai, dan Sepuluh Perintah Allah dapat dipenuhi dengan cara menaati dua hal ini : “Jawab Yesus kepadanya, “Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.” Itulah perintah yang terutama dan yang pertama. Perintah yang kedua, yang sama dengan itu ialah : “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Pada kedua perintah inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat.22 : 37 – 40).
Umat Israel dan para pemercaya Yesus secara bersama dipilih oleh Allah dan dikuduskan di hadapanNya. Coba pahami – saya tidak sedang berkata bahwa setiap orang Yahudi atau setiap anggota gereja secara otomatis akan masuk surga. Setiap individu harus membuat keputusannya sendiri untuk menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamat. Namun tidak ada penyangkalan bahwa baik Israel maupun gereja keduanya dikasihi oleh Tuhan kita. Kedua potongan roti Pentakosta melambangkan entitas yang sangat istimewa ini.
Sebelum kembali ke surga setelah kebangkitanNya, Yesus berkata kepada para muridNya bahwa Ia akan mengirim seorang Penolong yang akan melanjutkan pelayananNya: “Aku akan minta kepada Bapa dan Ia akan memberikan kepadamu seorang penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan
dan akan diam di dalam kamu” (Yoh.14:16-17).
Yesus berjanji bahwa Roh Kudus tidak hanya akan menyertai para murid, namun
akan benar-benar diam di dalam mereka, yaitu dalam sebuah kehadiran yang terus-menerus dan yang memberikan damai sejahtera. Ia memberi tahu mereka agar mereka menunggu Pribadi yang akan datang di Yerusalem.
Pada suatu hari ketika Ia makan bersama-sama dengan mereka, Ia melarang mereka meninggalkan Yerusalem, dan menyuruh mereka tinggal di situ menantikan janji Bapa, yang sebagaimana dikatakanNya, “telah kamu dengar dari Aku. Sebab Yohanes membabtis dengan air, tetapi tidak lama lagi kamu akan dibabtis dengan Roh Kudus….. Tetapi kamu akan menerima kuasa bilamana Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kis. 1:4-5, 8).
Dengan kecederungan alami kita untuk memperingati dan merayakan ulang tahun, kita sebenarnya harus mengadakan sebuah pesta bagi gereja untuk memperingati Pentakosta. Sejumlah peristiwa terjadi pada hari tersebut.
Pada hari Pentakosta, Penolong yang kudus, yang telah dijanjikan, akan turun dan diam di dalam setiap pemercaya (Yoh.16:7-8). Para pengikut Kristus berkumpul bersama dalam pengharapan, sebagaimana umat Israel menyatukan hatinya sementara mereka menunggu mendengar suara Allah di Sinai.
Pada hari Pentakosta, Karunia-karunia Roh dicurahkan dengan sangat berlimpah, pertama-tama ke atas orang Yahudi, dan kemudian ke atas orang bukan Yahudi (Kis. 10:45). Sebagaimana Rut menerima Allah Israel dan diberkati olehNya, maka demikian juga semua orang bukan Yahudi yang mendengar dan menerima khotbah Petrus dipenuhi dengan Roh Kudus.
Gereja lahir pada hari Pentakosta (Kis.2:42-47; 5:14).Banyak sekali pria dan wanita
orang Yahudi dan bukan Yahudi, orang merdeka dan budak, dipenuhi dengan roh dan kasih
yang sama dari Tuhan yang telah bangkit. Gereja – dengan penuh kemenangan, kuasa, dan kedahsyatan – bangkit bagaikan sebuah mercu suar yang mulia, yang menerangi tempat-tempat yang gelap di dalam hati manusia.
Pelayanan yang pertama lahir di hari Pentakosta! Dari ruang atas tersebut, orang Yahudi dan orang Yahudi dari segala bangsa pergi untuk memeritakan Injil (Kis.2:5). Yesus telah berjanji kepada para pengikutNya bahwa mereka akan menjadi saksi bagiNya di Yerusalem, Yudea, Samaria, dan sampai ke ujung bumi, dan Pentakosta menghadirkan kesempatan yang sangat sempurna untuk menyebarkan berita itu! Kota Yerusalem dipenuhi dengan orang-orang saleh dari seluruh dunia, dan mereka yang percaya membawa berita Injil ini kembali ke tempat asal mereka.
Pada hari Pentakosta, Injil dinyatakan kepada semua bangsa dan suku dalam bahasa mereka masing-masing (Kis.2:4-11). Oh, saya berharap saya bisa hadir saat itu untuk melihat orang Kreta, orang Arab, orang Mesir, dan orang Libia mendengar berita yang sangat luar biasa itu! Mereka yang keluar dari Ruang Atas tidak sedang berbicara omong kosong, namun mereka sendang menceritakan karya Allah yang sangat indah kepada siapa pun yang mau mendengarnya. Orang-orang biasa dan tidak berkependidikan ini berbicara dalam semua bahasa yang dikenal, sehingga semua orang yang lewat dapat mendengar kebenaran berita Injil!
Pada hari Pentakosta, tiga orang bertobat hanya melalui sebuah khotbah (Kis.2:37-41). Ingatlah, sobat, bahwa khotbah Petrus tidak disiarkan di televisi, tidak direkam, ataupun dipancarkan. Petrus yang tidak sabaran, Petrus yang takut untuk mengakui Kristus hanya beberapa minggu sebelumnya, sekarang berdiri di sebuah tempat terbuka dan menyerukan kebenaran dengan suara yang sangat lantang. Ia berbicara dengan terus terang apa adanya dan tidak berusaha menyaring beritanya – ia memberitakan kebenaran dengan sangat berani dan tanpa ampun, dan tiga ribu orang mengakui kebenaran dalam kata-katanya.
Pada hari Pentakosta, nubuat Yoel tentang Pentakosta digenapi (Yl.2:28-32; Kis. 2:16-21). Petrus sendiri yang mengutip nubuat Nabi Yoel, memberikan kesaksian bagi fakta bahwa Roh telah dicurahkan ke atas hamba-hamba Allah. Stopwatch nubuatNya – tujuh puluh kali tujuh masa yang dijelaskan dalam penglihatan Daniel – telah berhenti, karena ini adalah hari-hari terakhir, suatu masa anugerah di mana semua orang yang berseru kepada nama Tuhan akan diselamatkan (Kis. 2:21).
Namun stopwatch Allah akan segera berjalan lagi, sobatku. Ia menunggu karena Ia sangat mengasihi kita. “Tuhan tidak lambat menepati janji-Nya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelambatan, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat” (2 Ptr 3:9).

3. Pentakosta zaman Para Rasul.
Sekarang kita beralih kepada Kisah Para Rasul, kita tiba pada zaman yang berbeda . Sewaktu pelayanan Yesus pekerjaan Roh dalam diri orang-orang percaya masih dalam taraf dibayangkan, tetapi pekerjaan Roh telah terlihat. Pekerjaan Roh tentu berkesinambungan dengan misi Yesus. Semua yang diperbuat Jemaat dilihat sebagai karya Roh. Keseluruhan perkembangan gagasan dalam sejarah gerakan Kristen yang mula-mula itu dikuasai oleh Roh. Ini membuat Kisah Para Rasul amat penting dalam menetapkan ajaran PB tentang Roh dibandingkan dengan surat-surat, dalam Kisah Para Rasul memang lebih sedikit refleksi tentang peranan Roh tetapi lebih banyak cerita tentang pekerjaan Roh. Walaupun bukti dalam Kisah Para Rasul lebih bersifat histories ketimbang pengajaran, namun sumbanganistimewahyangdiberikannya membuatnya menjadi penting.
Pada hari Pentakosta terdapat empat acuan kepada Roh Kudus dalam Kisah Para Rasul 1. Ayat-ayat ini menciptakan suasana, shingga dapat dibuat suatu penilaian yang benar terhadap peristiwa pencurahan itu. Pertama-tama Lukas dengan jelas memperlihatkan bahwa ia memahami bukunya sebagai hasil penyataan tenang Roh dari Than yang bangkit itu kepada para rasul (Kis.1:2). Dengan kata lain, kunci pemahaman yang dimiliki para rasul itu ialah informasi yang mereka terima dari Tuhan yang bangkit itu , yang telah Lukas catat dalam Luk.24:27, 44-49. Lebih dari itu, kesadaran bahwa ini melanjutkan karya Yesus “oleh Roh Kudus” sejalan dengan janji dalam Yoh.14:26. Ini menjelaskan kewibawaan pemberitaan para rasul. Pentakosta bukanlah sesuatu yang menerobos secra mendadak atas jemaat yang menanti itu, para rasul telah diingatkan untuk menantikan babtisan dengan Roh Kudus, yang segera akan dating (Kis.1:5). Sama penting dengan janji itu adalah janji Kristus sebelum kenaikan-Nya, “Kamu akan menerima kuasa Roh Kudus turun ke atas kamu dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria sampai ke ujung bumi”. (Kis.1:8). Kuasa dari Roh ini telah ditemukan dalam Luk.24:49 dalam dalam janji tentang pertolongan untuk bersaksi dalam Yoh.15:26-27. Pernyataan ini dapat dianggap sebagai bayangan pendahuluan bagi pelayanan Jemaat yang meluas, karena itu pekerjaan Roh Kudus dalam pelayanan tersebut ini penting sekali.
Sepintas lalu perlu diingat bahwa Petrus sependapat dengan orangYahudi sendiri tentang pengilhaman Kitab Suci. Ia mengutip kitab Mzm.69:25 dan 109:18 dengan rumusan “nats Kitab Suci, yang disampaikan Roh Kudus dengan perantaraan Daud” (Kis1:6). Tatkla para rasul memperhadapkan dunia kepada Injil, mereka membuatnya
dengan keyakinan penuh bahwa Roh yang sama, yang telah berbicara melalui Kitab Suci,
telah berdiam di dalam mereka.
Asal usul Jemaat Kristen harus ditelusuri kembali ke Pentakosta. Itu merupakan peristiwa yang mengawali zaman Kristen, yang dapat juga dianggap sebagai zaman Roh. Zaman baru ini lain, walaupun merupakan kelanjutan dari zaman pelayanan Yesus. Orang Yahudi berpikir bahwa zaman yang akan datangitu segera menyusuli zaman yang sekarang, tetapi PB melukiskan pelayanan Yesus sebagai suatu peristiwa yang unik yang memisahkan zaman PL dari zaman Kristen. Arti Penuh dari Pentakosta baru dapat dilihat jika disadari bahwa pekerjaan Roh dalam pelayanan Yesus dijalankan dengan cara yang berbeda dari pekerjaan-Nya dalam pelayanan Jemaat. Yesus ialah teladan yang sempurna dari manusia Roh. Tetapi barulah sesudah Pentakosta orang-orang lain di beri kuasa untuk menjadi manusia Roh dengan cara yang penuh kuasa.
Ciri-ciri pokok dari pengalaman Pentakosta dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
Pentakosta adalah tindakan kesimpulan dari kenaikan Yesus. Perstiwa bukan hanya menyusulinya secara kronologis, melainkan juga bergantung kepadanya. Ini sudah dibayangkan Yesus dalam Yoh.7:39 dan 16:7 dan ini menyiratkan bahwa Pentakosta mengantarkan kepada suatu zaman yang baru.
Hal-hal yang mengiringi pencurahan Roh merupakan perbuatan simbolis. Angin dan api melambangkan kuasa Roh, yang satu tak kelihatan dan yang lain kelihatan.Penggunaan angin untuk melambangkan Roh telah dijumpai dalam Yoh.3: 8 dan hubungan antara api dan Roh menggenapi nubutan Yohanes Pembaptis dalam Mat.3:11.
Kepenuhan Roh meluas kepada semua orang percaya. Lukas tidak hanya berkata “penuhlah mereka denga Roh Kudus” (Kis.2:4), melainkan juga bahwa “lidah-lidah seperti nyala api bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing” (ay.3). jadi Roh datang atas orang-orang pribadi dan atas semua orang yang hadir, secara bersama. Di sini jelas tak ada tempat bagi gagasan bahwa beberapa orang percaya tidak termasuk dalam pengalaman awal ini. Sesungguhnyalah pengkalimatan dalam cerita Lukas secara keseluruhan sesuai dengan penegasan Paulus bahwa barang siapa tidak memiliki Roh Kristus maka ia bukan milik Kristus (Rm.8:9). Jadi seluruh himpunan orang percaya dimeteraikan dalam suatu tindakan oleh Roh yang sama.
Ungkapan “penuhlah mereka dengan Roh Kudus” dalam Kis.2:4 sangat berarti. Ini tidak pernah muncul dalam PL. Ungkapan ini terdapat satu kali berhubung dengan Yesus pada waktu pembaptisan-Nya (Luk.4:1). Tetapi sesudah Pentakosta kepenuhan ini menjadi tanda pengenalan dari orang-orang Kristen (bnd Kis.6:3 dst). Nampaknya kepenuhan dengan Roh ini dapat dilacak dengan mudah. Sekurang-kurangnya pada hari Pentakosta jelas bahwa orang-orang yang dipenuhi Roh adalah orang-orang percaya; mereka yang berada di luar dilingkungan orang-orang percaya tidak dipenuhi. Dalam nats ini tidak saran bahwa ada orang percaya yang tidak dipenuhi, atau sebagian dipenuhi. “Dipenuhi” setara dengan menerima Roh sebagai seorang yang percaya kepada Yesus. Itu setara dengan dibaptis dengan Roh (bn.Kis.1:5).
Karunia bahasa lidah (bahasa Roh) secara khas disebut sebagai “berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain” (Kis.2:4). Lagi pula berbagai bangsa yang hadir di Yerusalem mendengar rasul-rasul itu berkata-kata dalam bahasa mereka sendiri (Kis.2:6). Yang mencengangkan orang banyak bukanlah kejadian yang tiba-tiba tentang orang-orang yang berkata-kata dalam bahasa yang tak dapat dimengerti, melainkan bahwa mereka mendengar orang-orang Galilea yang se -
sederhana itu berkata-kata dalam bahasa dalam bahasa mereka sendiri.
Hal berkata-kata dalam bahasa lidah hanya terdapat dalam dua tempat lain dalam Kis.10:46 dan 19:6, setiap kali sebagai pengiring dari pencurahan Roh. Tetapi dalam ke dua kasus itu tak sekalipun dikatakan bahwa para pendengarnya mampu memahami, seperti terjadi pada hari Pentakosta dan peristiwa-peristiwa ini mungkin lebih mirip dengan pengalaman yang dibicarakan dalam I Korintus ketimbang pengalaman Pentakosta. Namun perlu diingat bahwa dalam Kis.10 manifestasi khusus itu mengiringi pencurahan Roh untuk pertama kalinya atas orang-orang bukan Yahudi.
Pekerjaan Roh pada hari Pentakosta dilihat sebagai penggenapan langsung dari nubuatan PL. Kutipan Yl.2:28-32 dalam Kis.2:17-21 mengacu kepada “hari-hari terakhir”dan kepada kedatangan hari Tuhan, “hari yang besar dan mulia itu”. Cara Petrus menangkap makna penggenapan nubuatan itu dan juga cara memberitakannya dengan berani, merupakan bukti pekerjaan Roh.Petrus telah menunjukkan teladan dari apa yang ia beritakan.
Dalam uraiannya Petrus menegaskan bahwa karunia Roh bukan hanya datang langsung dari Allah, melainkan juga bahwa pengaruniaan itu mengikuti pengagungan Yesus (Kis.2:32-33). Disni terdapat pemahaman yang serupa dengan yang terdapat dapat pernyataan Yesus pada Yoh.7:39. Pemahaman Petrus yang mengagumkan atas kedudukan Yesus pada sisi kanan Allah, hanya beberapa minggu sesudah penyaliban-Nya, pasti diperoleh melalui penglihatan Roh Kudus. Memang, pencurahan Roh Kudus bagi para rasul merupakan suatu bukti bahwa Yesus telah diagungkan.
Janji akan menerima Roh Kudus disampaikan kepada mereka yang bertobat dan memberi diri dibaptis untuk pengampunan dosa (Kis.2:38). Ini berarti bahwa semua orang yang sungguh-sungguh bertobat akan menerima karunia Roh. Jadi haruslah diterima bahwa 3000 orang yang dibaptis itu semuanya menerima Roh. Roh tersedia bagi semua dicurahkan terutama dengan maksud memberi kuasa kepada orang-orang yang sudah percaya, seperti dianggap sementara orang. Justru sebaliknya hal itu berhubungan dengan pengalaman pertobatan

4. Baptisan Roh.
4.1. Arti dan maksud baptisan Roh serta pentingnya baptisan Roh.
Arti dibaptis dengan Roh Kudus, adalah suatu peristiwa sejarah karena peristiwa tersebut tidak dapat dipisahkan dari kejadian bersejarah pada hari Pentakosta, ketika Kristus membaptis gereja-Nya dengan Roh Kudus, selanjutnya baptisan Roh menyangkut penerimaan Roh Kudus pada waktu kita bertobat dan percaya kepada Tuhan Yesus, juga baptisan Roh bagi setiap orang percaya adalah sama. Baptisan Roh adalah merupakan suatu pengalaman permulaan yang khusus, tidak diulang-ulang dan tidak dapat hilang.
Dalam Kis.1:5, Lukas mencatat kata-kata Tuhan Yesus,”…tetapi tidak lama lagi kamu akan dibaptis dengan Roh Kudus”. W.N. McElrath – Billy Mathias dalam Ensiklopedia Alkitab praktis, mengartikan baptisan Roh dalam Kis.1:5 sebagai “suatu kiasan untuk pengalaman menerima Roh Kudus” .
Pada hari Pentakosta, Allah Roh Kudus telah datang ke dunia dan dalam sekejap mata tubuh-tubuh manusia berubah menjadi bait-bait Roh Kudus. Sejak hari itu, melalui baptisan Roh (penerimaan Roh Kudus) ketika percaya kepada Tuhan Yesus, Roh Kudus
melahirkan kembali orang-orang berdosa menjadi anak-anak Allah.
Hari Pentakosta juga merupakan hari kelahiran gereja. Pada hari itu Kristus telah membaptis gereja-Nya melalui pencurahan Roh Kudus dari surga. Baptisan tersebut tidak diulang lagi, hanya satu kali untuk selamanya. Baptisan tadi juga berlaku bagi anggota-anggota gereja secara otomatis.
Jadi pada masa kini, pada saat sesorang bertobat dan percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Juru selamatnya dan karena ia telah menjadi anggota dari gereja yang adalah tubuh Kristus maka secara otomatis ia juga telah dibaptis (dimeteraikan – Ef.1:13) dengan Roh Kudus pada saat lahir baru. Inilah baptisan yang dimaksud Tuhan Yesus dalam Kis.1:15. dan dalam satu Roh kita semua yang percaya telah dibaptis menjadi satu tubuh Kristus (1Kor.12:13).
Setelah Roh Kudus mendiami tubuh / diri orang yang percaya, maka seketika itu juga Roh Kudus yang berperan dalam kelahiran baru mengerjakan pembaruan dalam hidup orang itu, seperti dikatakan dalam Titus 3: 5 “karena rahmatnya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaruan yang dikerjakan oleh Roh Kudus.” Dalam kelahiran baru itu Roh Kudus mengerjakan pembenaran dan pegudusan, suatu pembaruan yang menjadikan orang itu anak Allah, di samping terus menginsafkan dunia akan dosa kebenaran dan penghakiman.
Itulah satu-satunya baptisan Roh bagi semua orang percaya yang telah dilaksanakan Tuhan Yesus sendiri (Kis.1:5; 2:33). Kis.2:3 mengatakan bahwa, bahwa setelah pertobatan ”kamu akan menerima karunia Roh Kudus”
“Maksud baptisan Roh”. Baptisan Roh Kudus merupakan perlengkapan “dengan kuasa dari tempat Maha tinggi” (Luk.24:49). Itulah kekuasaan Ilahi untuk menjadi saksi bagi Kristus (Kis.1:8), bukan sebagai penonton tetapi sebagai seorang pengikut yang berani dan aktif dalam peperangan rohani.
Baptisan Roh adalah pintu kepada karunia-karunia dinamis dari Roh (1 Kor.12:8-10). Baptisan Roh Kudus itu sendiri adalah “anugerah (karunia) Roh Kudus (Kis.2:38).
Baptisan Roh merupakan ambang pintu yang dimasuki seseorang untuk beroleh kehidupan yang saleh dan bermanfaat. Itu merupakan permulaan suatu pelayanan pribadi yang besar dan yang disertai kuasa Ilahi. Maka Allah pun telah mensahkan mereka itu dengan tanda ajaib dan mujizat dari berbagai-bagai kuasa, dan dengan hal mengaruniakan Roh Kudus (Ibr.2:4).
Melalui pintu baptisan Roh seorang beralih dari keadaan yang biasa kepada keadaan yang luar biasa, dari keadaan yang alamiah kepada keadaan yang alam atas. Baptisan merupakan jubah ajaib dari Kristus yang bangkit, yang jatuh ke atas pundak hamba-hamba-Nya. Yesus menyatakan pada permulaan pelayanan-Nya;
“Roh Tuhan ada padaku-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk.4:18).
Pada akhir pelayanan-Nya Ia berkata: “Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu”. Dan sesudah berkata demikian, Ia mengembusi mereka dan berkata “terimalah Roh Kudus (Yoh.20.21-22). Yitu pergilah dengan kuasa Kristus yang amat ajaib, menjalankan pengaruh yang dinamis dan saleh pada generasi sekarang.
“Pentingnya baptisan Roh”. Tidak ada suatu peristiwa di dalam Alkitab dimana seorang Kristen boleh memilih bagi dirinya sendiri apakah ia harus dibaptiskan dalam Roh Kudus atau tidak. Sebaliknya baptisan Pentakosta diterima semua orang sebagai bagian dari kehidupan Kristen.
Itu bukanlah hak istimewah perseorangan atau suatu organisasi gereja untuk memutuskan apakah seorang harus menerima baptisan Roh atau tidak. Allah telah membuat keputusan itu. “Pada suatu hari ketika Ia bersama-sama dengan mereka, Ia melarang mereka meninggalkan Yerusalem dan menyuruh mereka tinggal di situ menantikan janji Bapa…(Kis.1:4).
Apabila para rasul mendengar tentang kebangunan rohani yang disertai keselamatan dan kesembuhan yang diadakan oleh Pilipus di Samaria, mereka segera menunjuk beberapa orang utusan untuk mewakili mereka pada kebangunan rohani itu. Setibanya di Samaria, petrus dan Yohanes mendapati bahwa orang-orang yang baru percaya itu telah mencapai kemajuan yang baik sampai suatu taraf tertentu. Mereka telah percaya dengan sungguh-sungguh, telah dibaptis dengan air, telah menyaksikan banyak kesembuhan dan mujizat-mujizat dan mengalai kesukaan yang besar. Tetapi ada suatu kekurangan – bahwa Roh Kudus belum turun ke atas mereka.
Tanpa takut bahwa orang-orang yang baru percaya itu mungkin menjadi bingung atau akan menolak, rasul-rasul itu segera berdoa bagi mereka supaya mereka menerima Roh Kudus. Setelah rasul-rasul itu meletakkan tangannya ke atas mereka, maka merekapun menerima Roh Kudus.

4.2. Ajaran pokok tentang Pentakosta:
Ada tiga pokok terpenting dari pemahaman tentang ajaran Gerakan Pentakosta
mengenai baptisan Roh :
Pertama, baptisan Roh merupakan akibat dari kelahiran baru (baptisan air) sebagai pengalaman yang ke dua dan terpisah.
Ditinjau dari ajaran ini, baptisan Roh sebagai “akibat dari kelahiran baru”, berarti : Kelahiran baru (baptisan air) dahulu, baptisan Roh belakangan. Baptisan Roh sebagai pengalaman ke dua dan terpisah, berarti : sesudah pengalaman kelahiran baru, kemudian secara tersendiri dan terpisah menyusul pengalaman baptisan Roh (menerima Roh Kudus).
Apakah ini berarti bahwa orang belum menerima Roh Kudus ketika ia lahir baru? Menurut Ralph Riggs, seorang tokoh kharismatik yang terkenal, Roh Kudus sebagai Roh Kristus memang sudah datang saat lahir baru. Namun tugas-Nya hanya untuk membawa orang Kristen ke dalam hubungan dengan Kristus atau dengan kata lain pertobatan dan menghantarnya kepada kelahiran baru, kemudian sesudah baptisan Roh nanti, Allah Roh Kudus sebagai Oknum Pribadi Ilahi, akan datang dalam nama-Nya sendiri memasuki hidup orang percaya. Lalu Ia akan memenuhi prang itu dan memberikan kuasa dan karunia-karunia-Nya secara penuh. Ajaran ini, menurut Riggs, bertitik tolak padda kejadia-kejadian dalam Kisah Para Rasul.
Bagaimana hubungan antara ke dua baptisan ini (babtisan air dan baptisan Roh)? Dalam Kis.1:5, Yesus menjelaskan bahwa baptisan air oleh Yohanes Pembaptis mencapai tujuannya yang lebih tinggi dalam baptisan Roh yang dilakukan-Nya sendiri. Dan dalam Kis.2:38, Rasul Petrus menyatakan baptisan air sebagai tanda pertobatan serta kesediaan menerima pengampunan Tuhan Yesus, untuk menerima karunia Roh Kudus.
Jadi sebenarnya dalam PB, baptisan air adalah lambang kematian dan penguburan dari manusia lama dengan cara menyelamatkannya ke dalam air. Orang yang bersangkutan harus sudah bertobat dan percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juru selamatnya.Dengan begitu tubuhnya yang berdosa sudah disucikan oleh darah Kristus, melalui baptisan air, mereka telah menyatakan kepada dunia bahwa mereka telah matibersama Kristus, dan mereka telah bangkit bersama Dia dalam suatu hidup baru. Karena hanya orang dewasa yang dianggap mampu menyatakan pertobatan dan pengakuan imannya, maka baptisan air pada umumnya berlaku untuk orang dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya ditetapkan upacara penyerahan anak, agar dapat menerima bayi atau nanak-anak ke dalam persekutuan. Upacara ini tidak dipandang sebagai sakramen, tetapi mengacu pada penyerahan bayi Yesus dan Samuel di bait Allah.
Kedua, baptisan harus terbukti secara fisik dengan “berkata-kata dalam bahasa
Roh” oleh yang bersangkutan dan menjadi suatu bukti menrima baptisan Roh Kudus (Kis.2
:4; 10:46; 19:6) dan diartikan sebagai janji Tuhan Yesus akan adanya bahasa Roh (Mrk.16:17-).

4.3. Dasar Doktrin Pentakosta:
Kis.2:1-4. Menurut ajaran Pentakosta, murid-murid Tuhan Yesus sudah menjadi Kristen lahir baru dan menerima Roh Kudus sebelum hari Pentakosta (Yoh.20:22). Maka itu penerimaanaan Roh Kudus pada hari Pentakosta adalah penerimaan Roh Kudus yang ke dua kali, dan merupakan tersendiri sesudah kelahiran baru.
Kis.2:38. Menurut ajaran Pentakosta, ayat ini menunjuk pada suatu “urutan tiga tahap”: bertobat, dibaptis dalam nama TuhanYesus (baptisan air) dan menerima karunia Roh. Tahap ketiga adalah Baptisan Roh merupakan pengalaman sesudah kelahiran baru.
Lukas tidakmenekankan pada suatu urutan tiga tahap, melainkan memberikan suatu
ringkasan menyeluruh dari penerimaan keselamatan dalam Kristus. Sebagai bukti urutan
tiga tahap tadi tidak diberlakukan dalam kejadian di rumah Kornelius, dimana mereka me-
ngalami baptisan Roh lebih dahulu sebelum dibaptis dengan air (Kis.10:44-48). Dalam kasus ini juga terjadi bahwa ketika mereka percaya kepada Tuhan Yesus, merek sekaligus menrima Roh Kudus. Dengan demikan mereka menerima Roh Kudus pada sat kelahiran baru.
Kis.8:4-25. Menurut ajaran Pentakosta, adalah kesalahan orang Samaria sendiri bahwa mereka berhenti pada tahap percaya dan tidak masuk ke dalam tahap ke tiga, yaitu
meminta, mencari dan mengetuk pintu dari baptisan Roh. Kejaian pada orang Samaria ini merupakan kasus perkecualian yang luar biasa sehingga Allah menunda karunia-Nya sampai kedatangan Petrus dan Yohanes sendiri. Maksud Allah ialah untuk mempersatukan mereka kembali setelah adanya hubungan histories yang tidak baik antara ke dua bangsa itu (perpecahan Yahudi – Samaria).
Kis.9:1-19. Menurut ajaran Pentakosta, Paulus menerima baptisan Roh tiga hari setelah pertobatannya di tengah jalan menuju Damsyik. Oleh karena itu,baptisan Roh merupakan pengalaman ke dua sesudah kelahiran baru. Tumpangan tangan ananias ke atas Saulus bukan merupakan baptisan Roh, melainkan pengurapan/ pemenuhan dengan Roh Kudus sebab Saulus sudah menerima Roh Kudus pada saat kelahiran baru di tengah jalan ke Damsyik (Kis.2:38). Namun belum dipenuhi oleh Roh Kudus sesuai Ef.5:18. Tumpang tangan dimaksudkan sebagai usaha untuk menyembuhkan penglihatan Saulus (ay.12, 17) dan untuk kepenuhan Roh (ay.18).
Kis.10:44-47. Menurut ajaran Pentakosta, Sekalipun pertobatan/ kelahiran baru dan baptisan Roh tampaknya menjadi bersamaan waktu, namun pengalaman baptisan Roh tetap harus terpisah dari kelahiran baru. Sudah dijelaskan di atas bahwa di rumah Kornelius menerima sekaligus baptisan Roh pada saat kelahiran baru (Kis.10:45). Jadi baptisan Roh
terjadi pada saat kelahiran baru secara otomatis (Kis.2:28).
Kis.19:1-7. Menurut ajaran pentakosta, sama dengan kesalahan orang-orang Samaria, orang-orang Efesus berhenti pada tahap percaya dan tidak masuk ke dalam tahap ke tiga untuk penerimaan Roh Kudus. Orang –orang Efesus pada mulanya tidak menerima Roh Kudus, karena mereka memperoleh baptisan pertobatan dari Yohanea Pembaptis (Kis.19:3). Padahal seharusnyamereka menerimabaptisan berdasrkan iman kepada Kridtus dan dibaptis di dalam nama-Nya (Kis.19:4).
Mrk.1:9-11. Menurut ajaran Pentakosta, baptisan yang dialami Yesus di Sungai Yordan merupakan penerimaan Roh Kudus yang ke dua kali sebab Yesus sudah memilik Roh Kudus sebelumnya dan Dia adalah Roh.
Pertama, baptisan Yohanes Pembaptis bukanlah baptisan Roh Kudus, melainkan baptisan air/ pertobatan. Ke dua Yesus adalah Allah sejati dan Manusia sejati. Seperti dikatakan Yohanes Pembaptis, Ia sebetulnya tidak perlu dibaptis (Mat.3:14), tetapi Yesus sebagai Manusia ingin melakukan kewajiban-Nya menurut hukum taurat (ay.15). sesungguhnya baptisan Yesus di sungai Yordan lebih merupakan penahbisan-Nya sebagai Hamba dan sebagai Mesias (bd. Yes.42:1; Mzm.2:7).

5. Kepenuhan Roh:
5.1 Arti konkrit Kepenuhan Roh.
Apakah hakekat dari kepenuhan itu ? Apa yang terjadi pada hari Pentakosta ialah bahwa Yesus “mencurahkan” Roh dari sorga dan dengan demikian “membaptis dengan Roh”, pertama-tama 120 orang, kemudian 3.000 orang. Buah baptisan Roh ini ialah bahwa “ penuhlah mereka dengan Roh Kudus” (Kis.2:4). Jadi kepenuhan Roh adalah akibat dari
Baptisan Roh.
Dipenuhi dengan Roh Kudus adalah suatu pengalaman pribadi seorang percaya
yang perlu terus menerus diulang sampai akhir hayatnya, selanjutnya kepenuhan Roh berhubungan erat dengan tingkat kerohanian seorang percaya atau jemaat dan kepenuhan Roh bagi setiap orang percaya atau jemaat adalah berbeda dan kepenuhan Roh merupakan suatu pengalaman yang harus terus menerus diulang-ulang selama hidup orang percaya dan perlu dipertahankan agar jangan sampai hilang atau undur, Namun jika hilang, masih dapat
ditemukan kembali.
Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus menyerukan “Hendaklah kamu penuh dengan Roh” (Ef.5:18). Maksud dari ajakan ini ialah supaya setiap orang percaya membuka diri untuk dipenuhi dengan Roh Kudus sampai ia mengalami kepenuhan Roh.Tuhan Yesus dalam Kis.9: 17 juga mengutus Ananias agar Saulus dipenuhi dengan Roh Kudus. Dan bukankah Yesus sendiri pada awal pelayanan-Nya dan menjelang pencobaan iblis di padang gurun juga penuh dengan Roh Kudus (Luk.4:1) ?
Menjadi penuh menurut pemikiran yang logis ialah di isi sampai penuh. Namun Roh Kudus bukanlah zat, melainkan Allah Roh Kudus yang bekerja dalam hidup orang percaya. Untuk memperoleh kepenuhan Roh, pertama-tama kita harus terbuka terhadap pribadi Roh Kudus. Maksudnya mempersilahkan Roh Kudus bekerja dengan leluasa dalam segi kehidupan kita tanpa hambatan dari kita sendiri. Selain itu kita harus mempunyai kerinduan yang besar untuk menjadi penuh dengan Roh Kudus. Pada umumnya kita tidak selalu mau bekerja sama dengan Allah Roh Kudus. Sering kita mau merintangi, menghambat atau membatasi bahkan ada kalanya kita menolak Allah Roh Kudus dalam
pekerjaan-Nya.
Apabila kita sunguh-sungguh terbuka dan ingin mengalami kepenuhan Roh, barulah Allah Roh Kudus mau menyatakan dirinya-Nya secara penuh. Ini berarti: Allah Roh Kudus akan bekerja dengan kekuatan penuh di dalam diri kita, Maka itu setelah kita mengalami ke penuhan Roh, dari hasil karya-Nya yang berlimpah itu, sebagian dari kuasa-Nya (al. urapan-Nya), kemampuan-Nya (al. karunia-karunia Roh) dan sifat-Nya (al. buah Roh). Akan melimpah ke atas kita. Limpahan berkat Roh Kudus inilah yang mengerjakan hal-hal yang luar biasa sewaktu kita mengalami kepenuhan Roh. Dalam tahap yang sempurna kita akan dimampukan untuk menjadi serupa dengan Kristus.
Jelaslah sekarang bahwa untuk kepenuhan Roh masalahnya bukanlah bagaimana caranya agar kita diisi penuh dengan Roh Kudus, melainkan “bagaimana mempersiapkan diri kita semaksimal mungkin, sehingga Allah Roh Kudus berkenan bekerja secara penuh dalam hidup kita “ ?

5.2. Ajakan yang harus dipenuhi.
Kini kita kembali pada perintah, yang dari padanya tergantung keempat perbuatan yang talah kita bicarakan. Perintah ini ialah: ‘Hendaklah kamu penuh dengan Roh’.
Pertama, bentuknya adalah perintah, yang datang kepada kita dari Kristus dengan segala wibawa yang telah diberikan kepada rasul-Nya yang terpilih. Kita tidak boleh menghindari tugas ini seperti kita tidak boleh menghindari tugas-tugas kesusilaan yang mengelilingi nas itu, umpamanya: mengucapkan yang benar, berlaku jujur, baik hati dan suka mengampuni, atau hidup dengan suci dan kasih. Kepenuhan Roh bukanlah soal pilihan bagi orang Kristen, tetapi soal wajib.
Kedua, kata kerjanya berbentuk jamak. Demikian pula kata kerja yang mendahuluinya: ‘jangan kumu mabuk oleh anggur’. Kedua bentuk perintah dalam Ef 5:18, yaitu larangan dan perintahny, ditulis bagi seluruh masyarakat kristiani. Tidak seorang pun dari kita mabuk; kita semua harus dipenuhi Roh. Ditekankan bahwa kepenuhan Roh bukanlah hak khusus yang disediakan bagi beberapa orang, tapi tugas yang dibebakan
kepada semuanya.
Ketiga, kata kerja itu berbentuk pasif: ‘dipenuhi’. Suatu syarat penting untuk menikmati kepenuhan-Nya ialah menyerar kepada-Nya tanpa syarat. Sekalipun demikian, tidak boleh digambarkan, bahw kita hanya pelaku yang pasif belaka dalam menerima kepenuhan roh, sama halnya jika kita menjadi mabuk karena minum; kita dipenuhi oleh roh
karena minum juga, sesuai ajaran Yesus dalam Yoh. 7:37
Keempat ,bentuk kata kerjanya ialah untuk masa kini. Dalam bahas yunani ada bentuk kata kerja yang menunukan kepada hanya satu perbuatan, dan ada yang menunjuk kepda perbuatan yang terus menerus, yaitu bentuk masa kini. Perinth dalm bentuk masa kini,’hendaklah dipenuhi dengan roh’ menunjuk bukan kepada suatu pengalaman yang mengesankan atau yang menentukan, yang akan menetapkan perkaranya untuk selamanya, melainkan suatu upaya memilikinya dan terus menerus.
Suatu gambaran mungkin dapatb menolong untuk menujukan , bahwa kepenuhan roh itu dimaksud bukan sebagai pengalaman yang mandeg, tidak bergerak, tapi yang berkembang. Marilah kita membandingkan dua orang. Yang seorang, bayi baru lahir yang beratnya 3,5 kg, yang baru saja mulai bernafas; yang lain, seorang dewasa
Tingginya 2 m dan bertanya 76 kg. keduanya sger dan sehat, keduanya bernafas semestinya, dan keduanya dapat dan diuraikan sebagai “dipenuhi hawa”. Lalu apakh beda yang ada diantara keduanya ? perbedaan terletak pada kecakapan paru-paru mereka. Keduanya dipenuhi, namun yang seorang lebih dipenuhi daripada yang lin, karen kecakapannya lebih besar.
Hal itu sama besarnya dengan hidup dan pertumbuhan rohani. Siapa akan menyangkal bahwa seorang bayi yang baru lahir di dlam Kristus dipenuhi dengan roh kudus (1Kor.6:19); apakah kita mengira bahwa jika roh memamasuki baitnya ia tidk memenuhinya ? seorang kristen yang dewasa dan saleh, yang telah bertahun-tahun hidup sebagai Kristen, juga dipenuhi oleh roh. Perbedaan yang ada diantara mereka terdapat pada apa yang dapat disebut kekuatan paru-paru rohani mereka, yaitu ukuran sampai iman mereka dapat meraih maksud Allah bagi mereka. Hal ini sama nampak dalam doa pertama rasul Paulus bagi jemaat Kristen di Efesus, Ia berdoa;
“supaya ia (yaitu Allah, Bapak Tuhan Yesus Kristus) memberikan kepdamu Roh hikmat dan wahyu untuk mengenal dia dengan benar. Dan supaya ia menjadika mata hatimu. Terang agar kamu mengerti harapa apakah yang terkandung dlam panggilannya. Betapa kayanya kemulian bagian yan ditentukannya bgi orang-orang kudus, dan betapa hebat kausanya bagi kita yang percaya dengan kekuatan kuasanya….(1;17-19)

Inilah urutannya: penerangan, pengertian, iman, pengalaman.berkat peneranganlah maka kita tahu, dan oleh iman kita karenanya dipengaruhi sekali oleh pengetahuan hati kita. Selanjutnya, makin banyak yang kita ketahui, makin bsarlah kecakapan rohani kita dan makin besar tanggung jawab kita untuk menuntut warisan kita oleh karena iman.
Demikianlah jika seorang baru dilahirkan oleh Roh, daya raihnya akan maksud Allah baginya biasanya sangat terbatas, dan pengalamannya terbatas ukurannya. Tapi jika roh menerangi mata hatinya, ia mulai melihat dan mengatahui harapan dari panggilan Allah, kekayaan warisan Allah dan kebesaran Allah. Ia ditantang untuk memeluk dengan iman kepenuhan maksud Allah baginya. Celakanya, sering iman kita tidak sebesar pengetahuan kita. Inilah salah satu cara yang dengannya kita kehilangan kepenuhan roh, tidak karena ketidaktaatan, tetapi karena ketidak percayaan. Paru-paru kita berkembang, tapi kita tidak menggunakannya. Kita perlu terus-menerus bertobat dari ketidakpercayaan kita, dan berseru kepada Allah supaya menjadikan iman kta bertambah, sehingga kita boleh terus-menerus memperoleh lebih banyak dari kebesaran maksud dan kuasa Allah.

5.3. Datangnya Kepenuhan Roh.
Pengalaman Kepenuhan Roh bagi orang-orang percaya dapat di undang dan akan datang hadir segala waktu. Juga setelah jemaat di doakan dalam sebua KKR misalnya, selalu ada sebagian jemaat yang mengalami kepenuhan Roh. Setelah kepenuhan Roh terjadilah serangkaian manifestasi rohani, seperti :

a. Manifestasi kuasa Roh Kudus berupa karunia-karunia Roh,
Roh Kudus dinyatakan melalui bermacam-macam karunia rohani yang diberikan kepada orang percaya (1 Kor.12: 7). Pernyataan Roh ini dimaksudkan untuk pemabngunan dan pengudusan jemaat. Karunia rohani ini tidak sama dengan Karunia-karunia dan pelayanan-pelayanan yang disebut dalam Roma 12:6-8 dan Efesus 4:11, dimana seorang percaya menerima kuasa dan kesanggupan untuk melayani dalam suatu cara yang lebih permanent dalam gereja. Daftar yang terdapat dalam 1 Kor.12:8-10 belum tentu lengkap dan karunia-karunia itu dapat terjadi dalam kombinasi yang beraneka ragam. Pernyataan Roh itu dikaruniakan sesuai dengan kehendak Roh (1 Kor.12:11), ketika kebutuhan timbul dan sesuai dengan keinginan yang sungguh-sungguh dari orang percaya (1 Kor.12:31; 14:1).
Beberapa karunia dapat dimanifestasikan melalui seorang secara tetap. Orang perca-
ya juga dapat memiliki lebih dari satu karunia untuk melayani kebutuhan yang khusus.
Orang percaya harus merindukan berbagai “ karunia”, bukannya satu karunia saja (1 Kor.12:3); 14:1).
Tidaklah alkitabiah dan bijaksana untuk menganggap bahwa karena seorang menjalankan karunia yang menakjubkan, maka orang itu lebih rohani dari pada orang yang memiliki karunia yang kurang menakjubkan. Apalagi hal memiliki suatu karunia tidaklah berarti bahwa Allah merestui segala sesuatu yang dilakukan atau yang diajarkan oleh orang itu. Karunia rohani tidak boleh dikacaukan dengan buah Roh, yang berhubungan lebih langsung dengan sifatdan pengudusan orang Kristen (Gal.5:22-23).
Pernyataan Roh melalui karunia-karunia dpat ditiru oleh iblis maupun oleh pelayan yang palsu yang menyamar sebagai hamba Kristus (Mat.7:21-23; 24:11,24; 2 Kor.11:13-15; 2 Tes.2:8-10). Orang percaya tidak boleh mempercayai setiap pernyataan rohani, tetapi harus ”ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah memakai muncul dan pergi ke seluruh dunia” (1 Yoh.4:1, bd.1Tes.5:20-21).
Dalam 1 Kor.12:8-10, paulus mendaftarkan beraneka ragam macam-macam karunia yang diberikan Roh Kudus kepada orang-orang percaya . Meskipun di sini ia tidak menegaskan sifat-sifatnya, kita dapat menyimpulkan sifat-sifat dari ayat lain :
Kata-kata hikmat. Ini merupakan ucapan yang berhikmat melalui pekerjaan Roh Kudus (Kis.6:10; 15:13-22). Akan tetapi ini tidak sama dengan memiliki hikmat Allah untuk kehidupan sehari-hari. Hikmat itu dicapai dengan belajar yang rajin dan merenungkan jalan Allah dan Firman-Nya dan melalui doa (Yak.1:5-6).
Kata-kata pengetahuan. Ini merupakan ucapan yang diilhami oleh Roh Kudus yang menyingkapkan pengetahuan tentan orang, keadaan, atau kebenaran alkitab. Ini sering berhubungan erat dengan nubuat (Kis.5:1-10;
10:47-48; 15:7-11; 1 Kor.14:24-25).
Iman. Ini adalah iman adikodrati khusus yang diberikan oleh Roh Kudus yang memungkin orang Kristen mempercayai Allah untuk melakukan perkara yang luar biasa dan ajaib. Ini adalah iman yang memindahkan gunung (1 Kor.13:2) dan sering ditemukan berkombinasi dengan pernyataan lain seperti penyembuhan dan mujizat (Mat.17:20; Mrk.11:22-24; Luk.17:6).
Karunia-karunia untuk menyembuhkan. Karunia-karunia ini diberikan kepada jemaat untuk memulihkan kesehatan jasmani dengan memakai sarana adikodrati (Mat.4:23-25; 10:1; Kis.3:608; 4:30). Bentuk jamak (dalam perkataan “karunia-karunia”) menunjukkan penyembuhan berbagai macam penyakit dan menganjurkan bahwa setiap tindakan penyembuhan ini merupakan suatu karunia yang khusus dari Allah. Sekalipun karunia untuk menyembuhkan ini tidak dikaruniakan kepada setiap anggota tubuh dalam suatu cara yang istimewah (bd. 1Kor.12:11,30), namun semua anggota boleh mendoakan orang sakit. Pada waktu ada iman, orang yang sakit itu akan disembuhkan. Kesembuhan dapat dapat juga terjadi sebagai hasil dari ketaatan terhadap petunjuk-petunjuk dalam Yak.5:14-16.
Kuasa untuk mengadakan mujizat. Ini merpakan perbuatan-perbuatn kuasa adikodrati yang dapat mengubah tatnan hokum alam yang normal. Hal-hal itu meliputi tindakan-tindakan ilahi dimana kerjaan Allah dinyatakan melawan iblis dan ro-roh jahat (Yoh.6:2).
Bernubuat. Kita harus membedakan di antara nubuat suatu pernyataan se-
mentara dari Rooh (1 Kor.12:10) dan nubuat sebagai siatu karunia pelayanan jemaat (Ef.4;11). Sebagai suatu karunia pelayanan, nubuat hanya diberikan kepada beberapa orang percaya, yang kemudian harus berfungsi sebagai nabi di dalam jemaat. Sebagai pernyataan rohani, nubuat itu sebenarnya terjadi :
Nubuat merupakan suatu karunia istimewah yang memungkinkan orang percaya untuk meneruskan perkataan atau penyingkapan secara langsung dari Allah di bawah dorongan Roh Kudus (1 Kor.14:24-25, 29:31). Ini bukanlah penyampaian sebuat kotbah yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Baik dalam PL maupun dalam PB, pada pokoknya nubuat bukanlah pemberitahuan mengenai masa depan, melainkan pemberitaan kehendak Allah, mendorong dan memberi semangat kepada umat Allah untuk meraih kebenaran, kesetian dan ketekunan (1 Kor.14:13).
Berita itu mungkin menyingkapkan keadaan hati seseorang (1 Kor.14:25) atau memberikan kekuatan , dorongan, penghiburan, peringatan dan hukuman (1 Kor.14:3, 25-26, 31).
Jemaat hendaknya jangan menerima nubuat semacam itu sebagai suatu pesan yang tidak dapat salah, sebab akan ada banyak nabi palsu yang memasuki gereja (1 Yoh.4:1). Karena itu semua nubuat harus diuji kemurniaan dan kebenarannya (1 Kor.14:29, 32; 1 Tes.5:20-21) dengan bertanya apakah itu sesuai dengan Firman Allah (1 Yoh4:1), apakah itu menunjukkan kehidupan yang saleh (1 Tim.6:3), dan apakah itu diucapkan oleh seorang yang tulus hidup di bawah ketuahnan Kristus (1 Kor.12:3).
Nubuat dijalankan di bawah kehendak Allah dan bukan kehendak manusia.
PB tidak pernah menunjukkan bahwa jemaat secara aktif mencari pernyataan atau petunjuk dari mereka yang mengaku sebagai nabi. Nubuat diberikan kepada jemaat hanya pada waktu Allah memprakarsai beritanya (1 Kor.12:11; 2 Ptr.1:21).
Membedakan bermacam-macam roh. Karunia ini merupakan kemampuan khusus yang diberikan oleh Roh untuk membedakan dan menilai nibuat-nubuat secara tepat dan mebedakan apakah ucapan itu berasal dari Roh Kudus atau bukan (1 Kor.14:29; 1 Yoh 4:1). Menjelang akhir zaman ii ketika guru palsu (Mat.24:5) dan memberitakan pemutar balikan Kekristenan yang alkitabiah akan berkembang secara pesat (1 Tim.4:1), maka karunia ini akan menjadi sangat penting bagi jemaat.
Berkata-kata dengan bahasa roh (yang berbeda-beda). Berhubungan dengan “bahasa roh” (Yunani. Glossa, artinya: bahasa) sebagai pernyataan adikodrati dari Roh Kudus, hal-hal berikut perlu diperhatikan :
Bahasa roh itu boleh jadi suatu bahas yang ada di bumi (Kis.2:4-6) atau suatu bahasa yang tidak dikenal di bumi misalnya, “bahasa malaikat” (1 Kor.13:1) bahasa senacam itu tidak pernah dipelajari dan sering kali tdak dapat dipahami oleh pembicara (1 Kor.14:14), maupun oleh pendengar (1 Kor.14:16).
Berkata-kata dengan bahasa roh melibatkan roh manusia dengan Roh Allah yang berbaur sehingga orang percaya itu berkomunikasi langsung dengan Allah (yaitu, dalam doa, pujian, ucapan berkat, dan ucapan syukur), sambil mengungkap atau berbicara pada taraf roh manusia dan bukan pikirannya (1Kor.14:2, 14) dan berdoa bagi diri sendiri atau orang lain di bawah pengaruh langsung dari Roh Kudus , terpisah dari kegiatan pikiran sendiri (bd.1 Kor.14:2,4,15,28;Yud.20)
Bahasa roh dalam perhimpunan jemaat harus disertai penafsiran yang dikaruniakan oleh Roh yang akan menyampaikan isi dan arti dari ucapan itu kepada perhimpunan orang percaya (1 Kor.14:3, 27-28). Ucapan ini mungkin berisi suatu pernyataan, pengetahuan, nubuat atau pengajaran bagi jemaat (bd. 1 Kor.14:6).
Berkata-kata dengan bahasa roh di dalam perhimpunan jemaat harus diatur. Pembicara tidak boleh ‘ dalam ekstase” atau “lepas kendali” (1 Kor.14:27-28).
Menafsirkan bahasa roh”. Ini merupakan kemampuan yang diberikan oleh Roh Kudus untuk mengerti dan menyampaikan makna suatu ucapan yang diucapkan dalam bahsa roh. Ketika bahasa roh ini ditafsirkan bagi jemaat, maka fungsinya adalah sebagai petunjuk untuk penyembahan dan doa ataupun sebagai nubuat. Perhimpunan orang percaya kemudian dapat ikit serta dalam pernyataan yang diilhamkan oleh Roh Kudus.. Demikan bahasa roh yang ditafsirkan dapat menjadi suatu sarana membangunan jemaat sementara sgenap perhimpunan menanggapi ucapan tersebut (bd.1Kor.14:6, 13). Karunia ini bias diberikan kepada orang yang berkata-kata bahasa roh harus berdoa juga untuk memperoleh karunia untuk menafsirkan bahsa roh (1 Kor.14:13).

b. Manifestasi kuasa Roh Kudus berupa urapan kuasa-Nya, seperti tindakan/ situasi/ pelayanan yang mengherankan.
“Dan ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar” (Ef 4:11).

“Sang pemberani”. Ef 4:11 mendaftar karunia pelayanan (yaitu, para pemimpin rohani yang berkarunia ) yang diberikan Kristus kepada Gereja. Paulus menyatakan bahwa Kristus memberikan berbagai karunia pelayanan ini : Untuk mempersiapkan umat Allah bagi tugas-tugas pelayanan (4:12) dan Bagi pertumbuhan rohani tubuh Kristus sebagaimana dikehendaki Allah

“Para Rasul”. Gelar “rasul” dipakai untuk kelompok pemimpin tertentu dalam PB. Kata kerja apostello berarti mengutus seorang untuk melaksanakan tugas tertentu sebagai utusan dan wakil pribadi dari yang mengutus, Gelar ini dipakai untuk Kristus (lbr 3:1), kedua belas murid (Mat.10:2), Paulus (Rm.1:1; 2 Kor.1:1; Gal.1:1) dan orang lain (Kis. 14:4, 14; Rm.16:7; Gal.1:19; 2:8-9; 1 Tes.2:6-7).
Istilah “rasul” dipakai dalam PB umum bagi wakil yang ditugaskan sebuah jemaat, seperti para misionaris Kristen yang pertama. Oleh karena itu, didalam PB gelar “rasul” menunjuk kepada setiap utusan yang yang ditugaskan dan diutus sebagai misionaris atau untuk tanggung jawab khusus lainnya (Kis.14:4, 14; Rm.16:7; 2 Kor.8:23; Flp.2:25). Mereka adalah orang orang yang menunjukkan kepemimpinan rohani yang luar biasa, diurapi dengan kuasa untuk berhadapan langsung dengan kuasa-kuasa kegelapan dan meneguhkan Injil dengan berbagai mukjizat dan telah menyerahkan diri untuk mendirikan berbagai gereja sesuai dengan kebenaran dan kemurniaan rasuli. Tuhan Yesus Kristus dan kemajuan Injil (Kis.11:21-26; 13:50; 14:19-22; 15:25-26). Mereka adalah orang-orang yang penuh iman dan tekun berdoa serta penuh Roh (lih. Kis.11:23-25; 13:2-5,46-52; 14;1-7,21-23).
Rasul-rasul dalam pengertian yang umum ini tetap penting bagi maksud Allah di
dalam Gereja, jikalau gereja berhenti mengutus orang-orang yang penuh Roh, maka penyebaran injil ke seluruh dunia akan terhambat. Pada pihak lain, selama gereja menghasilkan dan mengutus orang semacam itu, gereja akan memenuhi tugas misionernya dan tetap setia kepada Amanat Agung Tuhan (Mat.28:18-20).
Isitilah “rasul” juga dipakai dengan arti khusus yang menunjuk kepada mereka yang melihat Yesus setelah kebangkitan-Nya dan ditugaskan sendiri oleh Tuhan yang bangkit untuk memberitakan injil dan mendirikan gereja (mis, kedua belas murid dan Paulus). Mereka memiliki kekuasaan unik didalam gereja yang berhubungan dengan pernyataan ilahi dan berita Injil asli yang tidak terdapat lagi dalam diri siapa pun dewasa ini (Ef 2:20), jadi jabatan rasul dalam pengertian khusus ini bersifat unik dan tidak terulang lagi. Para rasul asli tidak memiliki pengganti (1Kor 15:8).
Tugas pokok dari para rasul PB adalah mendirikan gereja dan memastikan bahwa gereja itu didirikan atas, atau dikembalikan kepada, pengabdian yang sungguh-sungguh kepada Kristus dan iman PB (bd. Yoh 21:15-17; 1Kor 12:28; 2Kor 11:2-3; Ef 4:11-13; Flp 1:17).
Tugas ini meliputi dua beban utama;
Suatu keinginan yang mendesak yang diberikan Allah untuk memelihara kemurnian gereja dan pemisahannya dari dosa dan dunia (1Kor 5:1-5; 2 Kor.6:14-18; Yak.2:14-26; Ptr.2:11; 4:1-5; 1 Yoh.2:1,15-17; 3:3-10) dan
Beban yang terus menerus untuk memberitakan Injil PB dan mempertahankannya terhadap ajaran sesat, aliran-aliran teologi baru serta guru-guru palsu (Rm.16:17; 1Kor.11:2; cat. 2 Kor 11:3-4, 14; Gal.1:9; 2 Ptr.2:1-3; 1 Yoh.4:1-6; 2 Yoh.7-11; Yud.3-4,12-13;
Sekalipun para rasul yang meletakkan dasar gereja tidak mempunyai pengganti
gereja masa kini masih tergantung pada perkataan, berita, dan iman mereka. Gereja harus taat dan tetap setia kepada tulisan asli mereka. Menolak pernyataan yang diilhamkan dari para rasul itu berarti berhenti menjadi suatu gereja menurut pola alkitabiah dan menolak Tuhan Yesus (Yoh 16:13-15; 1Kor 14:36-38; Gal 1:9-11). Pada pihak lain mempercayai berita rasuli menaatinya dan menjaganya agar tidak diputarbalikan berarti tetap setia kepada Roh Kudus (Kis 20:28; 2Tim 1:14) dan menjamin kesinambungan hidup, berkat dan kehadirat Allah di dalam gereja (Ef 2:20).

“Para Nabi”. Nabi adalah orang percaya yang berbicara dibawah dorongan langsung dari Roh Kudus atas nama Allah dan yang beban utamanya adalah kehidupan rohani dan kemurnian gereja. Di bawah perjanjian yang baru mereka dibangkitkan dan diberi kuasa oleh Roh Kudus untuk membawa berita dari Allah kepada Ummat-Nya (Kis 2:17 ;4:8; 21:4).
Para nabi PL merupakan landasan untuk memahami pelayanan kenabian digereja mula-mula. Tugas pokok mereka adalah memberitakan Firman Allah agar mendorong umat Allah untuk tetap setia kepada hubungan perjanjian mereka . kadang-kadang mereka juga mengamalkan masa depan sebagaimana yang dinyatakan kepada mereka oleh Roh, Kristus dan para rasul adalah contoh dari pernyataan sempurna seorang nabi PL (Kis.3:22-23; 13:1-2).
Dikalangan gereja PB, para nabi berfungsi sebagai berikut :
Mereka merupakan pemberita dan penafsir firman Allah yang dipenuhi Roh,
dipanggil Allah untuk mengingatkan, menasehati, menghibur dan membangun (Kis 2:14-36; 3:12-26; Kor 12:10; 14:3).
Mereka harus menjalankan karunia nubuat .
Kadang-kadang mereka adalah “pelihat” (bd. 1Taw 29:29) yang meramalkan masa depan (Kis 11:28; 21:10-11).
Seperti halnya para nabi PL, maka para nabi PB dipanggil untuk menyikapkan dosa, memberitakan kebenaran, mengingatkan akan datangnya penghakiman dan memberantas keduaniawian dan kesuaman diantara ummat Allah (Luk 1:14-17). Karena memberitakan kebenaran para nabi dan pelayanan mereka tak perlu terkejut bila mereka ditolak oleh banyak orang di gereja selama masa kesuaman dan kemurtadan.

Sifat, beban, keinginan, dan kemampuan seorang nabi meliputi :
Semangat untuk kemurnian gereja (Yoh 17:15-17:1 Kor 6:9-11; Gal 5:22-25);
Kepekaan yang dalam akan kejahatan serta kemampuan untuk menegnali dan membenci ketidak benaran (Rm 12:9; Ibr 1:9);
Pemahaman yang tajam terhadap bahaya ajaran palsu (Mat.7:15;24:11,24; Gal 1:9; 2 Kor 11:12-15);
Ketergantungan yang mendalam pada firman Allah untuk meneguhkan beritanya (Luk 4;17-19; 1 Kor 15:3-4;2 Tim 3:16);
Perhatian terhadap keberhasilan rohani kerajinan Allah dan ikuti Allah) (Mat
21:11-13;23;27; Luk 13:34;Yoh 2:14-17;Kis 20-27-31). Berita para nabi ini tidak boleh diangap sebagai tanpa salah. Berita mereka harus diuji oleh gereja, nabi yang lain dan firman allah jemaat dituntut untuk menilai dan menguji apakah kesaksian mereka berasal dari Allah (1 Kor.14:29-33; 1 Yoh.4:1).
Para nabi masih diperlukan dalam maksud Allah dari gerejanya. Gereja yang menolak Allah akan menjdi gereja yang merosok yang terhanyut keduniawi dan kompromi kebenaran alkitabiah (1 Kor.14:3; Bd Mat.23:31-38; Luk.11:49;Kis.7:51-52). Jikalau para nabi tidak diizinkan menyampaikan peringatan dan teguran, kata-kata yang didorong oleh roh kudus kata-kata yang menimpangkan dosa dan ketidakbenaran (Yoh.16:8-11), maka gereja akan mejnadi tempat dimana suara roh tidak kedengaran lagi. Politik gerejawi dan kekuasaan duniawi akan menggantikan roh (2 Tim.3:1-9;4:3-5;2 Ptr.2:1-3,12-22). Pada peihak yang lain, jikalau gereja bersama para pemimpinnya, mendengarkan suara-suara para nabi, gereja akan digerakana kepada hidup dan perubungan yang baru denga kristus, dosa akan ditinggalakan, dan kehadiran roh akan nyata dinatara mereka yang setia (1 Kor 14:3;1 Tes.5:19-21; Why.3:20-22).

“Para Penginjil”. Dalam Pd, pemberitaan injil adalah orang memilk Allah yanga berbakat yang ditugskan untuk memberitakan injil (yaitu kabar baik) keselamatan kepada yang belum selamat dan membantu gereja yang baru disebuah kota apabila injil kepada diberitakan, ia selalu mengandung tawaran dan kuasa keselamatan (Rm 1:16-17).
Pelayanan Pilipus “Pemberitaan Injil” itu (Kis. 21:8).Memberikan gambaran yang jelas mengenai pekerjaan seseorang penginjil menurut pola PB.
Pilipus memberitakan Injil Kristus (Kis. 8:4-5, 35).
Banyak orang diselamatkan dibabtis dengan air (Kis.8:6, 12).
Berbagai tanda, mukjizat, penyembuhan, dan pembebasan dari Roh-roh jahat menyertai pemberitaannya (Kis.8:6-7, 13).
Dia ingin agar mereka yang baru bertaubat itu dipenuhi dengan Roh Kudus
(Kis.8:12-17; bd.2:38;19:1-6 ).
Penginjilan itu sangat penting dalam maksud Allah bagi gerejanya yang tidak mendukung pelayanan seorang penginjil tidak akan lagi memperoleh jiwa-jiwa baru sebagaimana yang diinginkan Allah. Gereja itu akan menjadi gereja yang statis, tanpa pertumbuhan dan jangkauan misioner. Gereja yang sangat menghargai karunia rohani seorang penginjil dan memelihara kasih yang sungguh-sungguh terhadap mereka yang terhilang akan memberitakan keselamatan dengan kuasa yang meyakinkan dan menyelamatkan (Kis.2:14-41).

“Para Gembala”. Para gembala adalh merek yang bertugas untuk mengawasi dan memelihara kebutuhan rohani jemaat lokal. Mereka juga disebutkan “penatua” (Kis 20:17; Tit.1: 5) dan “pemilik jemaat” (Tim.3:1:Tit 1:7).
tugas gembala adalah memberitakan ajaran yang sehat, membuktikan kesalahan ajaran sesat (Tit 1:9-11). Mengajrkan firman Allah dan memimpin jemaat lokal (1 Tes 5:12;1 Tim 3:1-5); menjadi teladan kesucian dan pengajaran yang benar (Tit 1:7-8); dan menjaga agar semua orang percaya tetap di dalam kasih karunia ilahi (Ibr.12:15:13:17; 1Ptr.5:2). Tugas mereka dinyatakan di dalam Kis 20;28-31 sebagai pelindung kebenaran rasuli dan kawanan domba Allah dengan berjaga-jaga terhadap ajaran palsu dan guru palsu di dalam gereja Mereka berfungsi sebagai gembal yang teladan terbaiknya adalah Tuhan Yesus sendiri (Yoh
10:11-16; 1 Ptr 2:25 5:2-4). Pola PB menunjukan adanya beberapa gembala yang memimpin kehidupan rohani jemat lokal (Kis.20:28: Flp.1:1). Gembala itu dipilih bukan melalui cara politis , melainkan oleh hikmat roh yang diberikan kepada tubuh kristus ketika memeriksa keadaan rohani seorang calon.
Gembala itu sangat penting dalam maksud allah bagi gerejanya. Gereja yang gagal memilih gembala yang saleh dan setia tidak akan dipimpin lagi menurut kehendak roh (Lih. 1 Tim. 3:1-7). Gereja tersebut akan terbuka lebar untuk dimasuki kuasa-kuasa perusak dari iblis dan dunia (Lih.Kis.20:28-31). Pemberitaan firman akan diputarbalikan dan patokan-patokan Injil akan hilang (2 Tim.1:13-14). Anggota dan keluarga gereja tidak akan dipelihara sesuai dengan maksud Allah (1 Tim.4:6,12-16; 6:20-21). Banyak orang akan meningalkan kebenaran dan berbalik kepda dongeng (2 Tim.4:4). Pada pihak lain, apabila yang ditugaskan adalah gembala yang saleh, orang percaya akan terpelihara dengan Firman iman dan ajaran yang sehat serta dilatih untuk beribadah (1 Tim.4:6-7). Gereja akan dibina untuk bertekun didalam ajaran Kristus dan para Rasul sehingga dengan demikian, memastikan keselamatan mereka dan para pendengarnya (1 Tim.4:16: 2 Tim.2:2).

“Para Guru”. Para guru adalah mereka yang memiliki karunia yang diberika oleh Allah untuk menjelaskan. Menguraikan secara terperinci, dan memberitakan firman Allah agar membangun tubuh kristus (Ef. 4:12).
Tugas khusus para guru ialah memelihara injil yang dipercayakan kepada mereka dengan pertolongan Roh Kudus (2 Tim.1:11-14). Mereka harus dengan setia mengarahkan gereja kepda penyataan Alkitabiah dan berita asli kristus dan para rasul, serta bertekun di dalam tugas ini. Maksud utama dari pengajaran Alkitabiah adalah memelihara kebenaran dan mengahasilkan kekudusan dengan memimpin tubuh Kristus ke dalm suatu komikmen yang sungguh dalam hidup saleh, sebagaimana tercantum dalam firman Allah. Al-kitab menyatakan bahwa sasaran pendidikan kristen adalah “kasih yang timbul dari hati yang suci. Dari hati nurani yang murni dan dari iman yang tulus ikhlas” (1 Tim.1:5). Jadi, bukti dari pengetahuan kristen bukan hanya sekedar apa yang kita ketahui. Tetapi bagaiman kita hidup. Yaitu manifestasi kasih, kemurnian, iman, dan kesalehan. Guru sangat penting dalam maksud Allah bagi gerejanya.
Gereja yang menolak atau tidak bersedia mendengarkan guru dan teolok yang tetap setia kepada pernyataan alkitabiah tidak akan memperdulikan lagi kesungguhan berita alkitabiah dan penafsiran yang tepat atas ajaran asli Kristus. Dan para rasul gereja dimana guru dan teolog semacam itu tetap diam tidak akan bertahan didalm kebenaran. Angin pengajaran yang baru akan diterima tanpa diselidiki, lalu pengalaman agama dan pikiran manusia, bukannya kebenaran yang dinyatakan, akan menjadi penuntun untuk doktrin, standart, dan praktik gereja pada pihak lain, gereja yang mendengarkan ajaran para guru dan priolog yang saleh akan mengukur ajaran dan kelakuanya dengan kesaksian injil yang mendasar. Unsur-unsur pikiran yang salah akan tersikap dan kemurnuian dari berita asli kristus diwariakan kepada keturunannya. Firman Allah yang terilhamkan akan menjadi ujian bagi semua ajaran, dan gereja akan diingatkan bahwa firman yang diilhamkan roh itu merupakan kebenaran dan kekuasaan tertinggi, dan dengan demikian, menjadi lebih tinggi dari pada gereja dan lembaganya.
.
c. Buah Roh dalam hidup orang percaya.
“Tetapi buah Roh ialah : Kasih, sukacita, damai, sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemah-lembutan, pengusaan diri” (Gal.5:22-23)
“Buah Roh”. Bertentangan dengan perbuatan tabiat berdosa adalah gaya hidup tulus ikhlas yang disebut “Buah Roh”. Gaya hidup ini dihasilkan dalam anak-anak Tuhan sewaktu mereka mengizinkan Roh menuntun dan mempengaruhi hidup mereka sedemikian sehingga mereka membinasakan kuasa dosa, khususnya perbuatan tabiat berdosa, dan hidup dalam persekutuan dengan Allah (Rm.8:5-14, 8:14; bd. 2 Kor.6:6, Ef.4:2-3; 5:9; Kol.3:12-15; 2Ptr.1:4-9).
Buah Roh meliputi :
“Kasih” (Yun. Agape) yaitu, memperhatikan dan mencari yang terbaik bagi orang lain tanpa alasan pamrih (Rm.5:5; 1Kor.13; Ef.5:2; Kol.3:14).
“Sukacita” (Yun. Chara) yaitu, perasaan senang berlandaskan kasih, kasih karunia, berkat, janji, dan kehadiran Allah yang dimiliki orang yang percaya pada Kristus (Mzm.119:16; 2 Kor.6:10; 12:9; Ptr.1:8; Flp.1:4).
“Damai sejahtera” (Yun.eirene) yaitu,ketentuan hati dan pikiran yang berlandaskan pengetahuan bahwa semua beres di antara orang percaya dengan Bapanya di Sorga (Rm. 15:33; Flp.4:7; 1 Tes.5:23; lbr.13:20).
“Kesabaran” (Yun. Makrothumia) yaitu, ketabahan, panjang sabar, tidak mudah marah atau putus asa (Ef.4:2; 2.Tim.3:10; lb. 12:1).
“Kemurahan” (Yun. Chrestotes) yaitu tidak mau menyakiti orang lain atau menyebabkan penderitaan (Ef.4:32; Kol.3:12; Ptr.2:3).
“Kebaikan” (Yun. Agathosurte) yaitu, bergairah akan kebenaran dan keadilan serta membenci kejahatan: dapat terungkap dalam perbuatan baik (Luk.7:37-50) atau dalam menegur dan memperbaiki kejahatan (Mat.21:12-13).
“Kesetiaan” (Yun. Pistis) yaitu, kesetiaan yang teguh dan kokoh terhadap orang
yang telah dipersatukan dengan kita oleh janji, komitmen, sifat layak dipercayai dan
kejujuran (Mat.23:23; Rm.3:3; 1 Tim.6:12; 2 Tim.2:2; 4:7; Tit.2:10).
“Kelemah lembutan” (Yun. Prautes) yaitu, pengekangan yang berpadu dengan
kekuatan dan keberanian; menggambarkan seorang yang bisa marah pada saat diperlukan
dan bisa tunduk dengan rendah hati apabila itu diperlukan (2 Tim.2:25; Ptr.3:15; mengenai kelembutan dalam Yesus, bd. Mat.11:29 dengan Mat.23 dan Mrk.3:5; dalam diri Paulus, bd. 2 Kor.10:1 dengan 10:1 dengan 10:4-6 dan 1:9; dalam Musa. Bd.Bil.12:3 dengan Kel 32:19-20).
“Pengusaan diri” (Yun. Egkrateia) yaitu, menguasai keinginan dan nafsu diri sendiri termasuk kesetiaan terhadap ikrar pernikahan:juga kesucian (1Kor.7:9; 9:25; Tit 1:8; 2:5).
Perkataan Paulus yang terakahir mengenai buah Roh menunjukkan bahwa gaya hidup seperti ini tidak dibatasi. Orang Kristen dapat, bahkan harus mempraktikkan sifat-sifat baik ini berkali-kali; mereka tidak akan menemukan hukum yang melarang mereka hidup menurut prinsip-prinsip.

i. Buah Roh adalah sesuatu yang bertumbuh.
Karena Buah Roh itu sesuatu yang bertumbuh, maka ia akan mempunyai prinsip :
Yang memberi bertumbuhan ialah Allah Roh Kudus sendiri.
Pertumbuhan akan berlangsung secara alami ; apa yang ditabur orang itu juga yang akan dituainya (Gal.6:7-8).
Pertumbuhan buah Roh itu berlangsung dengan lambat dan bertahap, yang akhirnya akan menuju pada kematangan.
Penerapan dari prinsip-prinsip tersebut di atas ialah :
Karena buah Roh berasal dari Allah Roh Kudus, maka diperlukan iman dan kerendahan hati untuk memiliki-Nya.
Harus ada disiplin rohani dalam hidup orang percaya agar buah Roh dapat bertumbuh dengan baik.
Karena pertumbuhan itu memakan waktu agak lama, maka ia harus bersabar dan menunggu dengan tekun.

ii. Pertumbuhan Buah Roh memerlukan waktu.
Buah Roh bertumbuh dan berkembang sesuai denganwaktu dan perhatian yang diberikan oleh orang percaya kepada-Nya. Sementara ia belajar untuk percaya dan mentaatai Allah – disamping ia mempelajari kebenaran-Nya dari Alkitab – buah Roh terus bertumbuh dan menjadi matang. Kasih yang dibuahkan itu penting dalam pembentukan tabiat Kristiani yang luhur.
Paulus juga menaruh perhatian pada buah Roh, dan ia mengambil jemaat Korintus
sebagai contoh. Ia perlu memberikan sebagian besar perhatiannya pada kesulitan-kesulitan (perpecahan dan perbantahan dalam jemaat) yang timbul, oleh sebab mereka kekurangan buah Roh. Sungguh, kesaksian tentang Kristus telah diteguhkan di antara mereka tidak kekurangan dalam karunia apapun (1 Kor.1:7).
Memang benar bahwa mereka tidak kekurangan dalam karunia apapun, namun mereka jauh terbelakang dalam berkembangan Roh. Orang-orang Korintus sudah dibaptis dengan Roh Kudus , tetapi mereka gagal dalam hidup mereka untuk mentaati pimpinan Roh. Karena itu Paulus mencela, “Kamu manusia duniawi dan kamu hidup secara duniawi” (1 Kor.3:3). Seluruh teguran paulus ditujukan tabiat pribadi setiap orang Korintus yang gagal untuk berjalan dalam pimpinan Roh.
iii. Buah Roh akan dihasilkan.
Buah Roh akan dihasilkan hanya jikalau hidup oaring itu mau dipimpin oleh Roh dan di bawah ini ada beberapa petunjuk bagaimana orang percaya “hidup oleh Roh”
dan “ dipimpin oleh Roh”.
Menyadari bahwa sebagai orang tebusan Kristus, Roh Kudus ada dan tinggal di dalam dirinya untuk selalu menolong serta menguatkan dia dalam menjalani hidup dengan benar berkenaan kepada Tuhan.
Mengakui Roh Kudus sebagai Pribadi Allah yang berdaulat atas hidupnya.
Mempercayakan diri penuh/ mutlak kepada Roh kudus dalam menghadapi hidup dengan berbagai tantangannya.
Menjadikan Roh Kudus penasihat dan pembimbingnya dalam mengarahkan hidupnya.
Selalu mentaati perintah-Nya.
Selalu seiring dan sejalan dengan Roh Kudus.
Pekerjaan Roh Kudus bukanlah untuk menjadikan orang percaya itu harus menjadi menjadi pendeta atau pengkhotbah, melainkan terutama untuk menjadikannya seperti pribadi Kristus.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan agar perjuangannya dalam Kristus dapat berhasil :
Iman – hidup Kekristenan bukan hanya soal iman, melainkan iman yang disertai dengan karya melalui perbuatan.
Kemauan keras yang disertai dengan kesungguhan hati.
Disiplin rohani Pribadi.
Buah Roh menjadi matang dengan bertambah dalamnya pengalaman orang percaya
seiring dengan pengenalannya akan Kristus. Karena itu harus tetap bersabar dan tetap memandang kepada Yesus Kristus, sambil berpegang teguh pada janji-janji-Nya dan bersandar pada kuasa Roh Kudus.
Sementara orang percaya meneruskan perjalanan hidupnya dengan dipimpin oleh Kudus, sifat dan watak Kristus lama kelamaan menjadi nyata dalam perkatan dan perilakunya. Pada akhirnya buah Roh yang rangkap sembilan itu akan terwujud secara konkrit dan penuh dalam hidupnya.

6. Hujat terhadap Roh Kudus tidak dapat diampuni.
Pokok yang paling serius dalam seluruh isi Al-Kitab adalah mengenai dosa melawan Pribadi ketiga dari Tritunggal, yaitu Roh Kudus. Baik orang percaya maupun yang belum percaya dapat berbuat dosa, bahkan sesungguhnya sudah berdosa terhadap-Nya.
Apakah sifat dari dosa-dosa ini dan bagaimana kita dapat berjaga-jaga agar tidak melakukannya?.
“Menghujat Roh Kudus”. Semua dosa manusia terhadap Roh Kudus tak ada yang lebih buruk daripada dosa menghujat Dia. Alasannya jelas sekali : Dosa itu tak dapat diampuni. Semua dosa lain dapat saja dilakukan oleh orang percaya. Kita dapat bertobat dari padanya, diampuni, dan mulia lagi secara baru.
Tidak demikian dengan menghujat Roh Kudus. Dosa ini diperbuat oleh orang-orang yang tidak percaya dan sering disebut “ dosa yang tak dapat diampuni.” Dosa ini dilakukan oleh musuh Yesus ketika mereka menuduh Dia membuang setan dengan kuasa setan setelah dengan jelas Ia menjelaskan bahwa Ia mengusir setan dengan kuasa dari “Roh Allah
Kemudian ia melanjutkan:
” Sebab itu Aku berkata padamu: Segala dosa dan hujat manusia akan diampuni, tetapi hujat terhadap Roh Kudus tidak akan diampuni, Apabila seorang mengucapkan sesuatu menentang Anak Manusia, ia akan diampuni, tetapi jika ia menentang Roh Kudus, ia tidak akan diampuni, di dunia ini tidak dan di dunia yang akan datang pun tidak “(Mat.12:31:32).

Selama Roh masih bergumul dengan seseorang ia belum melakukan dosa yang tak dapat diampuni ini. Tetapi bila seseorang itu telah melawan Roh Kudus sehingga ia tidak lagi bergumul dengannya, maka orang itu berada dalam bahaya kekal. Dengan kata lain, dosa yang tak dapat diampuni menyangkut penolakan kepada Yesus Kristus yang tak dapat ditarik kembali.
Bahwa inilah yang dibicarakan Stepanus dalam khotbahnya tak lama sebelum ia mati bagi bagi Kristus. Dalam khotbahnya ia berkata, “ hai orang-orang yang keras kepala……………..kamu selalu menentang Roh Kudus “ (Kis.7 :51 ).
Menurut konteksnya jelas bahwa Stepanus mengatakan pertama-tama, seperti nenek monyang mereka, mereka telah menolak pemberitaan nabi-nabi dan utusan Allah dan tidak mempercayai mereka. Maka pendengarnya bersalah dalam dosa yang sama. Dalam PL kita dapat membaca bahwa ada orang yang melawan, memfitnah, menganiaya, dan mengejek nabi-nabi. Sedangkan para nabi itu diilhami oleh Roh Kudus, maka dalam kenyataanya orang-orang itu melawan Roh. Maka kata Stephanus kepada orang-orang yang sedang mendengarkan dia, jika mereka menolak mendengarkan rasul-rasul Kristus dan orang yang telah dipilih, yang berbicara lewat Roh Kudus, maka mereka juga menolak juga Roh Kudus.
Infeksi dosa yang membawa maut dalam hati orang yang belum dilahirkan kembali, akan selalu menyebabkan dia menentang Roh Kudus. Tubuh ( daging ) dan pikiran jahat selalu melaawan Dia. Pada waktu orang-orang berlaku demikian, mereka tidak akan menerima Firman Allah dengan kuat kuasaNya kecuali jika Roh Kudus dapat menang atas mereka.
Tetapi Stephanus mengatakan yang lebih dari pada itu juga. Ia memberitahu mereka dan kita bahwa Allah Roh berusaha dengan sia-sia terhadap orang-orang dalam PL dan mereka dihukum. Demikian juga pendengarnya akan dihukum jika mereka tidak mengindahkan pekerjaan Roh di dalam hati mereka. Menolak Roh adalah dosa yang hanya diperbuat oleh orang-orang yang tidak percaya. Jadi itu adalah suatu dosa, jika diteruskan cukup lama, akan membawa malapetaka yang kekal. Suatu pengadilan tertentu telah tersedia dan pasti bagi mereka yang menolak Roh.
Jalan satu-satunya bagi semua orang berdosa, supaya dapat diampuni sebab menolak Roh Kudus, ialah berhenti menolak dan berpaling kepada Kristus Yesus yang tentunya Roh Kudus menyaksikan. Orang itu hanya berpengharapan jika ia dengan segera bertobat dan membirakan Roh Kudus bekerja di hatinya.

“Mendukakan Roh”. Sekarang kita sampai kepada dua dosa terhadap Roh Kudus yang dapat dilakukan oleh orang Kristen. Yang satu adalah mendukakakan Roh Kudus dan yang lain adalah memadamkan Roh Kudus. Istilah –istilah ini termasuk banyak arti, sebab hampir semua kelakuan yang salah dapat termasuk dibawah kedua pokok ini. Pertama, marilah kita lihat dulu dosa mendukakan Roh Kudus.
Paulus mengingatkan pembacanya agar mereka jangan “ mendukakan Roh Kudus Allah, yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penyelamatan “( Ef.4:30). Kata-kata Paulus bahwa kita “ telah dimemeteraikan menjelang hari keselamatan “. Merupakan hal yang penting dan menghibur. Ini berarti bahwa kita sudah dan akan tetap menjadi orang dengan Kristen. Maka ia tidak akan membicarakan pengadilan dengan arti bahwa apa yang kita lakukan disini akan memisahkan kita dari Kasih Allah dan menyebabkan kita ke neraka. Ia membicarakan tentang hal-hal yang kita lakukan yang tidak cocok dengan sifat Roh Kudus sehingga melukai hati-Nya. Kita dapat menyakitkan Roh dengan apa yang dilakukan.

“ Dukacita” atau “ sedih hati “ adalah kata “ kasih.” Roh Kudus mengasihi kita seperti Kristus, “ tetapi demi Kristus Tuhan kita, dan demi kasih Roh, aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, untuk-bergumul bersama-sama dengan aku dalam doa kepada Allah untuk aku” (Rom.15:30).
Kita dapat melukai hati atau membangkitkan amarah orang yang tidak mengasihi kita, tetapi “ mendukakan hati “ hanya dapat kita lakukan terhapap orang yang mengasihi kita.
Bagaimana orang Kristen mendudukan Roh Kudus ? Dalam Ef.4:20-32 Paulus mengatakan bahwa kelakuan apa saja yang tidak seperti Yesus, baik perkataan ataupun watak mendukakan Roh kasih karunia. Ruth paxson, dalam salah satu bukunya, bahwa kita bisa mengetahui apa yang melukai Roh jika kita mempertimbangkan kelakuan kita di dalam terang dari kata-kata yang dipakai Firman Tuhan untuk melukiskan Roh. Roh Kudus adalah Roh :
Kebenaran (Yoh.14:17), Maka apa saja yang palsu, penipuan, atau kemunafikan mendukakan Dia.
Iman (2 Kor.4:13). Maka keragu-raguan, ketidak percayaan, kegelisaan, kekuatiran,
mendukakan Dia.
Kasih Karunia (Ibr.10.29). Maka apakah saja di dalam kita keras pahit, dengki, tidak ramah, tidak mengampuni, atau tidak mengasihi mendukakan Dia.
Kekudusan (Rom.1:4). Maka segala sesuatu yang tidak bersih, yang mengotorkan atau menghina mendukakan Dia.

Apa yang terjadi jika kita mendukakan Roh Kudus? Biasanya Ia dengan senang hati mengambil hal-hal dari Kritus dan menyatakannya kepada kita. Dan ia juga memberi kita sukacita, damai, dan kesenangan hati. Tetapi ketika kita mendukakan Dia, pelayanan ini tertutup.
Ada kemungkinan kesadaran akan kehadiran Roh Kudus dapat diambil atau pergi dari manusia. Mazmur 51 menyataka denagn jelas ketika Daud berseru, “janganlah mengambil Roh-Mu yang Kudus daripadaku“ (ay. 13) . Ingatlah bahwa Roh Kudus telah memeteraikan setiap orang percaya bagi hari penyelamatan, yaitu penebus tubuh kita (Ef.1:13; 4:30; Rom.8:23). Mungkin anda dan saya undur, tetapi berada dari kehilangan kasih karunia, atau ditinggalakan Roh kudus secara total.
Jikalau Roh menarik diri-Nya dari seorang percaya yang telah dimeteraikan, tidaklah dengan demikian ia menyangkali seluruh rancangan keselamatan? Tetapi pada waktu ia berdukacita, sukacita dan kuasa di dalam hidup kita diambil-Nya sampai kita mengakui dan meninggalkan dosa kita. Walaupun di luar kita nampak gembira, sebenarnya batin kita sedih pada waktu kita tidak dapat bersatu dengan Roh Kudus. Ini bukan karena ia telah melepaskan kita, tetapi sebab ia dengan sengaja membuat kita sedih sampai kita berpaling kembali kepada kristus hati yang hancur, kesedihan, dan pengakuan Mazmur 32 - banyak mengira pasal ini ditulis oleh Daud setelah ia berdosa dengan Bethseba - adalah contoh yang baik sekali : “Selama aku berdiam diri, tulang-tulangku menjadi lesu karena aku mengeluh sepanjang hari; sebab siang malam tangan-Mu menekan aku dengan berat, sumsumku menjadi kering, seperti oleh teriknya musim panas. Sela. Dosaku kuberitahukan kepada-Mu dan kesalahanku tidaklah kusembunyikan ; aku berkata:” aku akan mengaku kepada Tuhan pelanggaran-pelanggaranku, “ dan engkau mengmpuni kesalahan karena dosaku….Bersukacitalah dalam Tuhan dan bersorak-soraklah, hai orang-orang benar; bersorak-soraklah, hai orang –orang jujur” (Mzm.32 :3-5, 11),
Bahwa satu kali kita telah dibaptiskan ke dalam tubuh Kristus dan didiami oleh Roh lagi. Kita dimeteraikan untuk selamanya. Dan ia adalah jaminan akan apa yang akan datang. Saya sadar bahwa banyak saudara-saudara saya yang seiman mempunyai pendapat yang berbeda, tetapi sejauh saya memiliki terang pada saat ini, saya yakin kita terjamin oleh Roh Kudus.
Dari satu segi, Roh Kudus yang tinggal di dalam kita mengikta kita kepada Allah. Ia melakukan ini berdasarkan darah Kristus yang telah kita percayai dan olehnya kita mengetahui bahwa kita telah di tebus. Pada segi yang lain, ia memberi kita sukacita yang terus menerus dalam pengetahuan bahwa kita milik Allah. Sukacita itu hanya terganggu bila perbuatan melalui kedagingan mendukakan yang telah memeteraikan kita. Inilah yan dikatakan dalam Yak.4:5b : “diingini-Nya dengan cemburu.“

“Memadamkan Roh”. Menghujat roh adalah dosa yang dilakukan oleh orang yang tidak percaya. Mendukakan dan memadamkan Roh adalah dosa yang dilakukan oleh orang-orang percaya. Nah, sekarang kita harus mempertimbangkan apa arti memadamkan Roh.
Inilah nasihat Paulus yang singkat, “janganlah padamkan Roh“ (1Tes.5:19). Kata mendukakan membawa perasaan dilukai, karena menderita. Ini berhubungan dengan cara kita melukai hati Roh dalam hidup pribadi kita . Kata memadamkan berarti “ matikan, mengecilkan.” Itu berhubungan dengan keterangan Firman Tuhan mengenai Roh Kudus sebagai api. Pada waktu kita memadamkan Roh, kita mengeluarakan-Nya, tetapi kita mematikan ksih dan kuasa Roh yang ingin memakai kita untuk mencapai tujuan ilahi-Nya. Kita dapat memadamakan-Nya dengan beberapa cara, tetapi gambaran api membrikan dua aspek sebagai pengingat.
Api itu padam apabila persediaan bahan bakar habis. Jika kita tidak mengobarkan jiwa kita, jika kita tidak menggunkan jalan kasih karunia, jika kita gagal berdoa, bersaksi, atau membaca Firman Allah, api Roh kudus akan terbendung. Hal-hal itu adalah saluran yang dipakai untuk memberi kita bahan bakar supaya apai itu tetap menyala. Dan roh Kudus ingin agar kita menggunakan pemberian-pemberian itu agar apaiNya tetap menyala dalam hidup kita.
Bahwa api akan dapat mati jika disirama dengan air. Atau menutupnya dengan selimut atau dengan tanah. Dengan cara yang sama, dosa yang disengaja memadamkan roh. Pada waktu kita mengeritik, berlaku tidak baik, mengina pekerjaan orang lain dengan kata-kata yang semberono, kita menutupi api itu dan memadamkannya. Hal ini sering terjadi jika ada gerakan Roh Kudus yang segar, baru dan berbeda mungkin tidak memakai metode kuno dalam ber-PI atau melayani. Umpamanya ketika ada bebrapa orang Kristen yang kadang-kadang berusaha menghalang-halangi pekerjaan Allah karena mungkin ada orang yang ingin melakukakannya dengan cara yang lain lagi.

7. Pentakosta pada zaman sekarang.
Kita telah mendiskusikan bagaimana hari Pentakosta, atau Shavuot, bergeser dari setiap hari Minggu lima puluh hari setelah Hari Raya Buah Sulung menjadi setiap lima puluh hari setelah dimulainya Pesach, atau Paskah. Karena pergeseran ini, orang Yahudi kontemporer selalu merayakan perayaan tersebut pada hari keenam bulan Ibrani Sivan. Selama perayaan, orang-orang Yahudi merayakan hubungan perjanjian mereka dengan Allah dan menguatkan kembali komitmen mereka pada kehidupan belajar dan praktik Yahudi.
Setelah penghancuran Bait Allah, makna dari Pentakosta sedikit berubah. Perayaan Pentakosta tidak lagi merupakan sebuah perayaan panen, walaupun bukti tentang asal usulnya yang berhubungan dengan pertanian masih ada.
Kebiasaan untuk menghitung hari mulai dari dipersembahkannya omer (bekas gandum) hingga dipersembahkannya dua potong roti telah ditentukan dalam Alkitab. Tradisi untuk menghias rumah dengan daun-daun hijau dan karangan bunga mengingatkan kembali pada fakta bahwa pada mulanya Pentakosta adalah sebuah perayaan yang memperingati panen yang melimpah.
Tradisi untuk tetap terjaga pada malam Pentakosta dimaksudkan untuk kembali pada masa-masa Musa dan Gunung Sinai. Menurut sebuah kisah yang berhubungan dengan Midrash (penjelasan tentang teks Perjanjian Lama), Allah memanifestasikan diriNya di Sinai pada tengah hari, namun bangsa Israel masih tertidur pada waktu itu, sehingga Musa harus pergi ke tenda-tenda mereka untuk membangunkan mereka. Dengan demikian, orang Yahudi berusaha tetap terjaga pada malam Shavuot untuk menunjukkan bahwa mereka tidak perlu dibangunkan untuk menerima Firman Allah.
Keluarga-keluarga Yahudi kontemporer berkumpul bersama pada malam sebelum Pentakosta untuk mengikuti sesi pelajaran Torah sepanjang malam yang disebut tikkun leil Shavuot. Sepanjang malam itu bagian-bagian Kitab Rut dan Pentateuch (kelima kitab pertama dalam Alkitab) dibaca untuk memperingati pemberian Kesepuluh Perintah Allah
kepada bangsa Israel.
Ritual lain yang berhubungan dengan Pentakosta adalah memakan produk-produk susu seperti blintz keju (sejenis penekuk tipis yang dioles mentega dabn dan dimakan dengan keju) dan kue keju. Tradisi para rabi menarik sebuah analog antara rasa manis dan makanan yang diterima orang Yahudi dari susu dan madu dengan rasa manis dan makanan yang didapatkan dari kalimat-kalimat Torah – yaitu Alkitab . Yang lain menjelaskan tradisi produk susu ini dengan menyatakan bahwa setelah bangsa Israel menerima Kesepuluh Perintah Allah dari Musa, mereka merasa sangat lelah dan lapar sehingga mereka tidak dapat menunggu para wanita untuk mempersiapkan makanan yang dari daging, dan oleh karena itu, mereka buru-buru memakan produk-produk susu apa pun yang mereka miliki pada saat itu .
Tidak semua ritual dalam Hari Raya Pentakosta adalah ritual kuno. Upacara peneguhan, yang ditambahkan pada abad sembilan belas, memperingati kedewasaan anak lelaki dan perempuan. Pada tahun-tahun yang lalu, keluarga-keluarga membawa hasil pertama dari panen mereka ke Bait Allah; sekarang ini para orang tua membawa anak-anaknya ke sinagoga (rumah ibadah orang Yahudi) untuk berpartisipasi dalam upacara peneguhan. Para pemimpin agama Yahudi memandang Shavout sebagai suatu hari yang lazim untuk meneguhkan orang-orang muda karena Pentakosta dianggap sebagai sebuah perayaan di mana semua orang Yahudi meneguhkan imannya. Bagian-bagian dari Kitab Rut, yang dibacakan di sinagoga, mengingatkan para pendengar bahwa Rut, seorang wanita yang bukan Yahudi, menerima Allah Israel.
Berulang kali dalam Alkitab Perjanjian Lama, Allah meminta yang terbaik dari umat-Nya. Kita seharusnya tidak memberikan sisa-sisa hidup kita kepada-Nya - waktu sisa, secuil tenaga atau uang “ekstra”. Kita seharusnya memberikan hasil pertama dari setiap pertambahan kita – sepersepuluh pertama dari penghasilan kita, usaha kita yang terbaik, kesetiaan kita yang paling sungguh. Allah tidak menginginkan hal-hal yang dapat membuat-Nya menyesal – Ia menginginkan yang terbaik.
Karena itulah yang anda berikan kepada seseorang yang sungguh-sungguh anda kasihi.































BAB IV
GERAKAN PENTAKOSTA PADA MASA KINI

Gerakan yang oleh sementara orang disebut “Gerakan Pentakosta Baru”, tapi yang oleh sejumlah orang besar orang disebut Gerakan Kharismatik, kini menjadi suatu gejala yang hampir meliputi seluruh dunia, dengan memiliki orang-orang gerejawi yang terhormat sekali diantara para pemimpinnya. Orang tak dapat menilai wajah gereja masa kini tanpa memperhitungkan gerakan itu.
Tidak dapat disangkal, bahwa Allah telah memakai gerakan ini sebagai alat untuk mendatangkan berkat kepada banyak orang. Banyak orang Kristen memberi kesaksian, bahwa mereka telah mengalami suatu kebebasan dan kasih yang baru, kelepasan batiniah dari belenggu hambatan-hambatan, kegirangan dan kedamaian yang berlimpah-limpah dalam percaya, rasa yang lebih kuat akan realitas Allah, kehangatan persekutuan Kristiani yang belum dikenal sebelumnya, dan semangat segar bagi pemasyuran Injil.
Suatu hal yang penting ialah nubuat Yesus dalam Injil Yohanes yang berjanji bahwa Roh Kudus akan memimpin murid-murid dan membantu mereka dalam kesaksian mereka. Pada dasarnya Jemaat yang akan datang adalah suatu perhimpunan yang dipimpin oleh Roh Kudus dan kitab Kisah Para Rasul menyatakan secara jelas bahwa janji itu digenapi.
Sekarang sudah tiba saatnya bagi kita untuk meringkaskan PB tentang gerakan Pentakosta masa kini yang menjadi tugas gereja yang secara umum dan dapat disebutkan tiga hal, yaitu : Marturia, Kononia, dan Diakonia.
“Marturia”. Gereja sebagai kominitas pemeberitaan kebenaran Firman Tuhan (kesaksian). Dalam Mat.28:19-20, dijelaskan tentang tugas pemberitaan dan pengajaran. Pemberitaan bagi mereka yang belum percaya dan pengajaran bagi mereka orang Kristen dan dalam hal ini kita memulai dengan dasar Jemaat.
“Kononia”. Yaitu memelihara persekutuan yang telah dikaruniai oleh Allah (Kis.2:46-47; 4:31; 5:42; 12:5,12; Ef.4:3), untuk memelihara persekutuan gereja. Menyelenggarakan ibadah-ibadah dan sakramen.
“Diakonia”. Pelayanan kasih oleh orang-orang Kristen adalah orang-orang yang telah menerima berkat dan belas kasih Tuhan Yesus Kristus, oleh karena itu gereja wajib mendidik jemaatnya untuk tahu bersyukur dan berterima kasih. Rasa berterima kasih itu diwujudkan dengan mengunjungi janda-janda dan anak yatim piatu yang kekurangan (Yak.1:27).
Tidak diragukan bahwa peristiwa kunci dalam perkembangan Jemaat Kristen adalah kebangkitan Kristus dan Pencurahan Roh Kudus pada waktu Pentakosta. Peristiwa kebangkitan itulah yang membangkitkan iman orang-orang percaya mula-mula.

1. Ruang lingkup jemaat.
Kita akan membahas penjelasan yang diberikan mengenai sikap Jemaat melalui bermacam-macam kiasan yang dipakai Paulus untuk menjelaskan hal itu. Biasanya kita memikirkan Jemaat menurut kiasan tubuh, pengantin dan bangunan untuk memahami pengertian Paulus mengenai Jemaat, tetapi ada beberapa kiasan lain yang kurang terkenal yang juga harus diperhatikan. Sebelum masuk dalam pembahasan mengenai hal-hal ini, kita akan membahas penggunaan kata ekklesia dalam surat-surat Paulus.
Paulus memandang Jemaat menurut dua cara utama. Dalam kebanyakan surat-suratnya, yang dimaksudkan dengan “jemaat” ialah perhimpunan orang-orang percaya dalam suatu daerah tertentu. Surat-surat yang ditujukan kepada korintus dialamatkan “kepada jemaat Allah di Korintus” (1 Kor.1:2; 2 Kor.1:1). Bentuk yang sama seperti ini juga ditemukan dalam surat-surat yang dikirim ke Tesalonika, yang dialamatkan “kepada jemaat orang-orang Tesalonika yang di dalam Allah Bapa dan di dalam Tuhan Yesus Kristus” (1 Tes.1:1; bnd. 2 Tes. 1:1). Dalam surat Galatia Paulus hanya menyebutkan “kepada jemaat-jemaat di Galatia” (Gal.1:2), tanpa penjelasan lebih lanjut. Surat-suratnya yang lain ditujukannya kepada orang-orang kudus di Roma , Filipi, Kolose. Karena itu jelaslah bahwa kata “jemaat” digunakan dalam pengertian sekelompok orang-orang percaya dalam suatu daerah setempat. Suatu bentuk organisasi tidak disebut. Ternyata, hanya dalam Flp.1:1 disebutkan pejabat-pejabat gerejawi, dan mereka pun hanya disebutkan setelah menyebutkan “orang-orang kudus”.
Pengertian kedua yang dimaksudkan Paulus ialah Jemaat yang bersifat universal. Pengertian ini dinyatakan secara tidak langsung dalam beberapa kiasan yang dipakainya, tetapi baru menjadi jelas dalam surat Efesus dan Kolose, yang menguraikan kedudukan Kristus sebagai Kepala Jemaat (Ef.1:22; Kol.1:18). Perkembangan pikiran dari gagasan kelompok-kelompok kecil yang bersifat lokal menuju pada gagasan penggabungan secara keseluruhan dari kelompok-kelompok tersebut, adalah wajar. Meskipun demikian tidaklah benar bila Jemaat yang bersifat universal itu hanya dianggap sebagai gabungan dari banyak perhimpunan umat yang bersifat lokal, karena masing-masing Jemaat setempat pada dasarnya merupakan Jemaat Allah. Kita juga tidak dapat menerima pandangan yang mengatakan bahwa gagasan Jemaat yang bersifat universal ini telah berkembang terlalu jauh ke depan daripada gagasan pada masa Paulus. Menurut pandangan ini surat Efesus maupun surat Kolose harus dianggap bukan karya Paulus, yang berarti bahwa bukti yang diperoleh dari surat-surat itu mengenai Jemaat, tak bisa dipakai sebagai sumber pengetahuan tentang pandangan Paulus mengenai Jemaat. Tidak ada alasan untuk berpikir bahwa Paulus sendiri tidak dapat atau tidak akan berkembang dalam pandangannya dari gagasan mengenai Jemaat-jemaat yang bersifat lokal yang berada di dalam Kristus, sampai pada gagasan persekutuan orang-orang percaya secara keseluruhan yang juga dipersatukan di dalam Dia. Untuk memperoleh pengertian yang cukup mengenai pandangan Paulus mengenai ciri Jemaat, segi lokal maupun segi universalnya harus diimbangi.
Dalam surat-surat Paulus terdapat petunjuk-petunjuk tertentu mengenai ciri dari perhimpunan-perhimpunan lokal tersebut. Istilah en ekklesia (dalam atau sebagai Jemaat) digunakan beberapa kali dalam Surat I Korintus (1 Kor.11:18; 14;19,28,35) dengan arti suatu bangunan, bahkan gagasan mengenai Gereja sebagai suatu bangunan sama sekali asing bagi PB. Terdapat beberapa bukti bahwa pertemuan-pertemuan Jemaat dilakukan di dalam rumah-rumah. Memang, beberapa Jemaat terdiri dari sejumlah kelompok persekutuan rumah tangga seperti itu (bnd. Rm.16:5,10,11). Nampaknya kata ekklesia dipakai untuk menyatakan jumlah keseluruhan orang-orang percaya pada suatu tempat (sebagai tambahan dari contoh-contoh yang disebutkan di atas, bnd. Rm 16:1, Kengkrea; Kol.4:16, Laodikia; Gal. 1:22, Jemaat-jemaat di Yudea); kelompok-kelompok itu biasanya terdiri dari sejumlah persekutuan rumah tangga yang bergabung. Nampaknya pandangan Paulus mengenai Jemaat ialah bahwa masing-masing kelompok setempat tersebut berdiri sendiri sebagai Jemaat Allah, tetapi tidak ada satu pun yang boleh dipisahkan dari yang lainnya. Sifat ini didukung dengan kuat oleh kiasan-kiasan yang dipakai Paulus, yang akan kita perhatikan pada bagian berikut ini:
“Jemaat sebagai satu tubuh”. Dari semua kiasan yang dipakai Paulus, kiasan mengenai tubuh adalah yang paling hidup dan penuh arti. Nampaknya ada perkembangan dalam pemikiran Paulus mengenai Jemaat sebagai satu tubuh. Dalam surat Roma ia menggunakan kiasan ini untuk mengajarkan bahwa karunia-karunia yang berbeda bisa dipakai di dalam satu Jemaat (Rm.12:4-8). Ia membuat pembedaan yang jelas antara kesatuan dan keseragaman: tubuh menggambarkan kesatuan Jemaat. Dalam Surat I Korintus, Jemaat digambarkan sebagai tubuh, tubuh manusia memberikan gambaran mengenai hubungan Kristus dengan orang-orang percaya (bnd. 1 Kor.12:12 dst). Gagasan mengenai tubuh Kristus ini menunjukkan betapa eratnya ikatan yang mempersatukan semua orang percaya. Tentunya yang dimaksudkan dengan tubuh dalam konteks ini ialah Jemaat setempat, tetapi hal ini penting mengingat adanya karunia-karunia rohani yang berbeda-beda yang sedang dinyatakan. Anggota-anggota tubuh yang bermacam-macam diperlukan untuk kepentingan masing-masing anggota supaya tubuh itu dapat berfungsi secara efisien, dan karunia-karunia kharismatik yang khusus harus dilakukan di dalam batasan ini. Di sini terdapat pandangan Jemaat yang bersifat kebersamaan (corporate) yang meniadakan sikap individualistis, tetapi memberi kesempatan bagi pemanfaatan kemampuan pribadi. Penekanan yang kuat lainnya pada kesatuan Jemaat terdapat dalam catatan tentang Perjamuan Kudus dalam I Kor.10:17: “Karena roti adalah satu, maka kita sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu”. Gagasan mengenai pengambilan bagian bersama-sama dalam Perjamuan Kudus menekankan kesatuan dasar dari anggota-anggota Jemaat.
Penggunaan yang lebih berkembang dari kiasan itu dapat terlihat dalam Surat Efesus dan Kolose. Di sini ekklesia disamakan dengan tubuh Kristus (Ef 1:22,23; 4:12,15-16; 5:23; Kol 1:18,24): suatu konsep kristologis yang lebih khusus diperkenalkan. Jelas bahwa Kristus sebagai Kepala mengendalikan Jemaat, Ia dipandang sebagai sumber kehidupan dan kepenuhan Jemaat. Dialah yang paling utama (Kol 1:18). Kristus sebagai Kepala ditekankan secara khusus sebagai unsur yang mempersatukan (Ef 1:22-23; 4:15). Lagi pula, proses menjadikan satu di dalam satu tubuh, dikatakan telah dilakukan melalui salib (Ef 2:16) yang mengatasi permusuhan orang-orang Yahudi dengan orang-orang bukan Yahudi, dengan merobohkan tembok pemisah yaitu perseteruan (Ef 2:14). Kiasan tentang tubuh menjadi tidak sesuai bila terjadi perseteruan antara orang-orang Kristen Yahudi dengan orang-orang Kristen bukan Yahudi: tubuh tidak dapat berfungsi bila salah satu bagiannya mempunyai sikap bermusuhan terhadap bagian yang lain. Pengembangan kiasan tentang tubuh ini diterapkan pada Jemaat, khususnya menekankan segi universalnya.
Arti yang tepat dari ungkapan Paulus yang menghubungkan tubuh dengan “kepenuhan” (seperti dalam Ef.1:23) tidaklah jelas. Beberapa orang berpendapat bahwa Jemaat “memenuhi” Kristus, artinya bahwa misi Kristus belum selesai tanpa misi Jemaat. Pengertian lain dan mungkin yang lebih dapat diterima ialah bahwa kepenuhan Kristus mengalir melalui Jemaat, yaitu tubuh-Nya, dan memberikan kehidupan dan kuasa yang vital. Hal ini sejalan dengan penggunaan pleroma (kepenuhan) khususnya mengenai Kristus (Ef.1:23; Kol.1:19). Pada dasarnya Allah yang memberikan kepenuhan, bukan
Jemaat, dan karena itu penafsiran yang kedua lebih diterima.
Tidak ada dukungan dalam surat-surat bagi pandangan yang mengatakan bahwa Paulus menganggap Jemaat sebagai perluasan dari inkarnasi Yesus. Pendapat ini mengatakan bahwa dengan cara yang sama seperti Allah telah berinkarnasi di dalam Kristus, demikian juga Kristus berinkarnasi di dalam Jemaat-Nya. Tetapi kiasan tentang tubuh menjelaskan bahwa Kepala berbeda dengan tubuh, Kristus berbeda dengan Jemaat-Nya, dan hal ini meniadakan kemungkinan bahwa Kristus telah berinkarnasi di dala Jemaat. Karena masing-masing anggota Jemaat berada di dalam Kristus, maka keseluruhan anggota “didiami” oleh Kristus, tetapi gagasan ini berbeda dengan gagasan inkarnasi. Kepala diagungkan dan menempati tempat di surga, hal ini dengan baik menunjukkan perbedaan dengan bagian tubuh yang masih di dunia, dan juga merupakan dorongan untuknya.
Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa kiasan tentang tubuh sangat membantu pengertian kita mengenai ajaran Paulus tentang Jemaat, dan memperlihatkan bahwa dalam pemikirannya, Jemaat tidak terpisah dari ajarannya mengenai pribadi (oknum) Kristus. Ia tidak pernah berpikir tentang Jemaat tanpa memikirkan hubungannya dengan Kepalanya. Keseluruhan orang-orang percaya membentuk tubuh Kristus. Pada suatu tempat Paulus berbicara tentang tubuh-tubuh orang-orang Kristen sebagai anggota-anggota Kristus (1 Kor 6:15), tetapi pengungkapannya yeng lebih umum ialah bahwa ornag-orang Kristen adalah anggota-anggota tubuh Kristus. Kita akan memperhatikan bahwa kebersamaan yang kuat ini muncul lagi dalam beberapa kiasan lain yang digunakan oleh Paulus.
“Jemaat sebagai pengantin perempuan”. Penggunaan kiasan tentang pernikahan mendapat dukungan dari pengajaran Yesus. Kiasan tersebut ditemukan dalam perumpamaan tentang gadis-gadis, tetapi arti dari perumpamaan itu tidak bergantung pada identifikasi dari pengantin itu (Mat.25:1-13). Perumpamaan tentang perjamuan kawin juga menggunakan gagasan yang sama untuk menggambarkan sifat-sifat Kerajaan Surga, tetapi tidak memberikan petunjuk apa-apa mengenai siapa yang dimaksudkan dengan pengantin itu (Mat.22:1-14). Yohanes Pembaptis menggunakan gambaran tentang mempelai perempuan dan mempelai laki-laki dengan maksud untuk membedakan dirinya dari keduanya. Ia menyatakan dirinya sebagai sahabat mempelai laki-laki, tetapi ia tidak menjelaskan siapa mempelai perempuan itu (Yoh.3:29-30).
Baru pada saat Paulus memikirkan Jemaat, kiasan itu diterapkan pada perhimpunan umat Kristen (bnd. Ef.5:25). Tetapi disini pun Jemaat tidak disebut secara khusus sebagai mempelai perempuan; hanya disebutkan bahwa hubungan suami dengan istri dipakai sebagai analogi (kiasan) pada hubungan Kristus dengan Jemaat-Nya. Jelas bahwa dalam Surat Efesus istilah ekklesia berarti keseluruhan Jemaat, sehingga dengan demikian terlihat bahwa keseluruhan perhimpunan menopang hubungan yang khusus dengan Kristus. Dalam ajaran PB tentang pernikahan, mempelai perempuan didorong untuk tunduk dan taat kepada suaminya karena hal ini dianggap sebagai pola hubungan Jemaat dengan Kristus. Kiasan mempelai perempuan di sini dihubungkan dengan maksud penebusan Kristus (bnd. Ef 5:25). Mempelai laki-laki bukan hanya Kepala Jemaat, tetapi juga penyelamatnya. Tetapi mempelai perempuan dan mempelai laki-laki menjadi satu daging dan hal inilah yang dikatakan Paulus sebagai suatu rahasia.
Penggunaan kiasan mengenai mempelai perempuan dalam Surat Efesus ini sejalan dengan dua perikop dalam Surat Korintus. Dalam I Kor.6:15 dst. Kiasan tentang mempelai perempuan dihubungkan dengan kiasan tentang tubuh. Paulus bertanya, “Akan kuambilkah anggota Kristus untuk menyerahkannya kepada percabulan?” Hal ini mempertentangkan mempelai perempuan yang sejati dengan perempuan pelacur. Perikop ini merupakan seruan untuk hidup bermoral, tetapi secara tidak langsung memberi petunjuk bahwa masing-masing orang Kristen adalah mempelai perempuan dari Kristus. Perikop yang lain yaitu 2 Kor.11:2, “Karena aku telah mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk membawa kamu sebagai perawan suci kepada Kristus”; di situ yang dimaksudkan dengan mempelai perempuan adalah perhimpunan orang Kristen di Krintus. Paulus takut kalau-kalau jemaat Korintus bersalah dengan menyerahkan diri kepada seorang Yesus yang lain daripada Kristus yang sejati (2 Kor 11:4). Perikop ini terdapat dalam bagian dari Surat 2 Korintus yang dialamatkan kepada orang-orang yang masih memberontak melawan kekuasaan Paulus. Ia takut bahwa jemaat Korintus akan diperdaya sama seperti Hawa telah diperdaya. Hal yang diutamakan ialah bahwa Jemaat, sebagai mempelai perempuan Kristus, harus tetap murni dan setia kepada suami satu-satunya itu, yaitu Kristus. Kiasan tentang mempelai perempuan ini secara khusus menjelaskan hubungan yang erat antara Kristus dengan Jemaat-Nya, karena dianggap adanya ikatan kasih yang kuat di antara mereka. Kiasan ini adalah kiasan satu-satunya yang dipakai oleh Paulus tentang Jemaat yang berhubungan dengan kewanitaan.
“Jemaat sebagai bangunan” Kiasan ini terdapat dalam dua surat. Walaupun sifatnya benda mati (tidak seperti kedua kiasan yang baru dibahas di atas) namun artinya tidak berkurang. Ada kesejajaran kiasan yang dipakai dalam Mat.16:18; “Diatas batu karang ini Aku akan mendirikan JemaatKu”. Gagasan ini dikembangkan oleh Paulus dalam Surat I Korintus. Ia menyatakan bahwa jemaat Korintus adalah bangunan Allah (1 Kor.3:9), dan kemudian ia menyamakan dirinya sebagai seorang ahli bangunan (1 Kor.3:10), yang menarik perhatian pada satu-satunya dasar yang diperbolehkan, yaitu Kristus sendiri.
Hal ini membawa Paulus untuk memikirkan gagasan mengenai rumah Allah (1 Kor.3:16). Keseluruhan orang-orang percaya pada suatu daerah dipandang sebagai tempat kediaman Allah, tetapi hal ini juga berarti bahwa setiap orang Kristen adalah rumah Allah. Sebagaimana Allah telah tinggal di tempat yang maha kudus, dengan demikian Roh Kudus tinggal di dalam ekklesia. Kiasan yang sama terdapat dalam 1 Kor.6:19, yang menganggap tubuh masing-masing orang percaya.sebagai rumah Allah. Gagasan ini diambil dari gambaran yang diberikan dalam PL mengenai tempat kediaman Allah di dalam ruang Rumah Allah yang paling dalam. Pada zaman dahulu Allah tinggal di antara umat-Nya pada posisi yang berjauhan karena kekudusan-Nya. Paulus tidak ingin para pembaca suratnya mempunyai sikap penghormatan yang lebih rendah terhadap Rumah-Nya sekarang, walaupun ini telah dipindahkan dari bangunan yang kudus kepada hati manusia. Hal ini bukan hanya memperlihatkan adanya perkembangan dalam pemikiran, yaitu menggantikan hal yang bersifat lahiriah dengan yang bersifat batiniah, tetapi juga memperlihatkan bahwa suatu bangunan yang khusus bagi kediaman Allah tidak dibutuhkan lagi. Jika orang percaya (dan sebagai akibatnya keseluruhan tubuh orang-orang percaya) adalah tempat kediaman Allah, maka lokasinya secara fisik tidak penting lagi. Betapa pun bernilainya tempat kediaman Allah bagi Israel, namun Jemaat Kristen tidak memerlukan suatu tempat seperti itu. Gagasan tentang bangunan betul-betul menjadi kiasan dan karena itu bersifat rohani.
Dalam Surat Efesus, keseluruhan Jemaat dipandang sebagai rumah Allah (Ef.2:19-22). Paulus berbicara mengenai “seluruh bangunan” yang dipersatukan bersama-sama sehingga rapi tersusun dan tumbuh “menjadi bait Allah yang kudus; di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah di dalam Roh”.
Beberapa hal yang penting muncul dari perikop ini. Di situ, yang dimaksudkan
dengan rumah Allah adalah keseluruhan perhimpunan orang Kristen, karena itu masing-masing bagian dari bangunan itu merupakan Jemaat-jemaat atau orang-orang secara pribadi. Masing-masing bagian itu penting selama diikatkan pada keseluruhan. Di sini terdapat gabungan kiasan-kiasan yang dapat dimengerti, karena bangunan-bangunan itu tidak bertumbuh menjadi rumah Allah, 2 tetapi artinya cukup jelas. Peranan Jemaat-jemaat Kristen masing-masing adalah membentuk bagian yang dapat kelihatan dari keseluruhan Jemaat. Penting untuk diperhatikan bahwa yang dimaksudkan dengan “bangunan” di situ bukanlah sebuah gedung atau pun suatu organisasi, melainkan tempat kediaman Allah.
Hal penting yang lain dalam perikop Efesus ini ialah bahwa rumah Allah dikatakan dibangun di atas “dasar para rasul dan para nabi”, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Apakah ini merupakan pergeseran dari ajaran dalam 1 Kor.3:11, yang meletakkan Kristus sendiri sebagai dasar? Ada orang yang mengambil perbedaan ini sebagai alasan untuk membantah kepengarangan Paulus atas Surat Efesus. Tetapi adalah mungkin memahami kata-kata ini tanpa menganggap adanya pertentangan. Paulus memang sudah tahu bahwa Jemaat Kristen telah bertumbuh sebagai hasil dari kesaksian para rasul dan yang merupakan batu penjuru dalam seluruh bangunan adalah Yesus Kristus. Penafsiran ini memahami ‘dasar para rasul dan para nabi” sebagai dasar yang diletakkan oleh rasul-rasul dalam pengertian pemberitaan yang merka lakukan, tetapi hal ini bukannya tidak mungkin (bnd. 1 Kor.3:10 di situ Paulus mengatakan, “aku telah meletakkan dasar”). Kata-kata tersebut ditulis segera sesudah disebutnya “pemberitaan damai sejahtera” (Ef 2;17). Karena rasul-rasul memberitakan dan nabi-nabi bernubuat, maka hubungan “dasar” dengan kesaksian itu mudah dimengerti, khususnya jika Kristus adalah pusat pemberitaan.
Tetapi ini tidak menjelaskan mengapa Kristus disebut sebagai batu penjuru bukan sebagai dasar. Pemikiran Paulus yang utama ialah bahwa Kristuslah yang mempersatukan bagian-bagian yang terpisah menjadi satu kesatuan. Inilah yang dimaksudkannya, dan ia tidak berusaha untuk memberi definisi yang tepat dari “dasar” itu. Hal ini akan sesuai dengan pengertian “batu penjuru” sebagai batu utama yang berada di tengah-tengah puncak lengkungan, jika ini penafsiran yang benar.
Hal penting lainnya ialah bahwa di sini Jemaat dipandang sebagai tempat kediaman Allah “di dalam Roh”. Pekerjaan Roh Kudus memainkan peranan yang penting, seperti terlihat pada perikop-perikop dalam I Korintus 3 dan 6. Bagian-bagian yang terpisah dari bangunan tidak pernah akan menjadi suatu kesatuan tanpa pelayanan Roh Kudus. Dalam kiasan tentang bangunan seperti digunakan oleh Paulus tidak terdapat kesan bahwa organisasi manusiawi mendapat tempat dalam gagasannya mengenai Jemaat. Terdapat kesamaan yang menonjol antara kiasan ini dengan kiasan tentang tubuh; kedua kiasan itu mengarah pada kesatuan jemaat, tetapi sementara itu tetap mempertahankan sifat-sifat dari masing-masing bagiannya. Gagasan yang mirip yang terdapat dalam perikop Efesusu diungkapkan dalam pernyataan “anggota-anggota keluarga Allah”, yang digunakan sebagai penjelasan mengenai Jemaat Kristen (Ef 2:19). Penekanannya ialah bahwa orang-orang Kristen bersama-sama merupakan anggota dari suatu warga atau keluarga secara rohani.
“Jemaat sebagai umat Allah yang sejati”. Gagasan bahwa ada suatu umat Allah yang khusus sudah biasa bagi kita karena sering dipakai dalam PL mengenai bangsa Israel. Namun, gagasan itu mempunyai sifat tersendiri yang membedakannya dari gagasan yang semata-mata bersifat politis atau rasial. Bangsa Israel dipandang dari sudut teokrasi, dan merupakan suatu umat yang dipilih oleh Allah dan yang dipelihara oleh Allah. Identitasnya senantiasa dipertahankan oleh asal mulanya dalam pilihan ilahi, tidak pernah oleh usahanya sendiri. Sudah wajar bahwa Paulus, dengan latar belakang kehidupannya sebagai seorang Israel, akan memandang Jemaat pula sebagai umat Allah yang khusus. PL menceritakan kegagalan bangsa Israel untuk menggenapi rencana Allah baginya, tetapi juga menjanjikan kedatangan Mesias. Sudah sewajrnya bila kepada murid-murid Yesus Sang Mesias yang dianggap sebagai umat Israel yang sejati itu, digenapi janji-janji yang telah gagal diwarisi oleh Israel yang lama.
Paulus menggunakan sejumlah kiasan untuk mengungkapkan gagasan tentang Jemaat sebagai umat Allah. Kita harus sadar bahwa kata “umat” dalam PB tidak berarti hanya suatu kumpulan orang-orang secara pribadi. Umat Allah dalam PB ialah perhimpunan orang-orang yang diketahui khusus sebagai orang yang percaya kepada Tuhan yang bangkit. Pengertian tentang “umat Allah” bukanlah tidak jelas. Mereka yang bukan “umat Allah” telah menjadi umat Allah (Rm.9:25-26; bnd. 1 Ptr.2:9-10).
Pada saat Paulus menulis kepada orang-orang Kristen bukan Yahudi dalam Rom. 4:16 dan Gal.3:29, ia menyebut mereka sebagai anak-anak Abraham. Ini memperlihatkan pandangannya yang betul-betul baru mengenai keturunan Abraham. Keturunan ini bukan lagi soal bangsa atau sunat, tetapi soal iman. Pengertian tentang umat Allah telah bergeser dari bangsa yang diperintahkan Tuhan menuju perhimpunan orang-orang yang beriman, dan dengan demikian ruang lingkupnya diperluas (bersifat universal) dan keanggotaannya menjadi lebih jelas (yaitu berdasarkan iman kepada Kristus).
Sering terdapat persamaan antara pengalaman umat Allah dalam PB dan pengalaman Israel dalam PL. Paulus menjelaskan mengenai pengalaman Israel di padang gurun dalam 1 Kor.10:1 dst, dan ia langsung menghubungkan Kristus dengan batu karang yang dipukul oleh Musa. Dalam pembahasanya yang terinci mengenai hubungan orang-orang Yahudi dengan orang-orang bukan Yahudi dalam Rom.9-11, Paulus memakai gagasan PL tentang sisa bangsa Israel, dan menerapkan hal ini secara rohani. Memang diakui bahwa belum tentu Paulus dalam pasal-pasal ini menyamakan sisa Israel itu dengan Jemaat secara keseluruhan, mungkin ia hanya memikirkan tentang kelompok orang-orang Kristen Yahudi; tetapi tentunya jelas bahwa ia memikirkan suatu umat yang terdiri dari orang-orang yang percaya kepada Allah. Dalam hubungan ini kita dapat memperhatikan cara yang dipakai oleh Paulus yang menerapkan gagasan pemilihan kepada orang-orang yang sudah masuk menjadi umat Allah (Rm.11:5; 8:33; Ef.1:4 dst). Umat Allah adalah orang-orang yang dipilih-Nya untuk menggenapi maksud-Nya, dan pengertian bersama bahwa merekalah orang-orang yang terpanggil dan terpilih ini memberikan rasa solidaritas yang kuat kepada mereka.
Paulus kadang-kadang menyebut orang-orang percaya secara pribadi atau sebagai perhimpunan sebagai “rumah Allah”, tetapi selain itu ia tidak memakai kiasan-kiasan yang diambil dari agama Yahudi untuk menjelaskan pengertiannya tentang Jemaat (lain halnya dengan Surat Ibrani, misalnya). Namun, ia memandang dirinya sebagai “pelayan Kristus Yesus” (leitourgos) dan orang-orang bukan Yahudi yang percaya sebagai persembahan yang berkenan kepada Allah (prosfora, Rm.15:16). Lagi pula, kiasan tentang bau yang harum yang dipergunakan untuk orang-orang Kristen (2 Kor 2:15; Ef 5:2) diambil dari penggunaan dupa dalam ibada orang-orang Yahudi. 3 Kiasan-kiasan yang sepintas lalu ini memperlihatkan betapa lengkapnya gagasan sistem korban-korban yang diberikan suatu bentuk rohani apabila diterapkan bagi Jemaat Kristen. Hal bahwa Paulus tidak menguraikan tema keimaman tidak berarti bahwa ia menganggap sistem korban-korban tidak ada artinya bila diterapkan pada Jemaat. Bagi Paulus umat Allah ialah perhimpunan orang-orang yang telah ditebus yang tidak lagi terhalangi dalam hubungan mereka dengan Allah. Sebenarnya mereka adalah umat yang didamaikan dengan Allah: mereka telah menjadi Israel yang sejati.

2. Ibadah Jemaat.
Pertama-tama kita akan membahas bahan dalam PB mengenai tata cara ibadah, termasuk nyanyian pujian, pelayanan firman, pengakuan iman serta doa-doa, dan kemudian kita akan membahas tentang sakramen.
“Nyanyian pujian”. Sulit untuk mengadakan penyelidikan tentang nyanyian pujian orang-orang Kristen mula-mula karena tidak terdapat kesepakatan tentang bagian-bagian dari nyanyian orang-orang Kristen yang mana yang terdapat dalam surat-surat Paulus. Banyak orang menduga bahwa Paulus menggunakan nyanyian yang sudah ada dalam Fil.2:6-11, Kol.1:15-20 dan I Tim.3:16. Semua perikop ini bersifat kristologis dan mungkin mencerminkan kebiasaan mengarang nyanyian pujian yang berirama untuk menghormati Yesus
Dalam Ef.5:19 orang-orang Kristen diperintahkan untuk “berkata-kata seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani”. “Mazmur” yang dimaksudkan di sini mungkin mazmur PL, tetapi tidak ada petunjuk mengenai sifat dari dua hal yang lain itu, juga mengenai perbedaan diantara keduanya. Ada bukti bahwa nyanyian sering dinyanyikan dalam Jemaat Kristen (bnd. 1 Kor.14:26), hal ini juga dilakukan dalam rumah sembahyang Yahudi pada waktu itu. Dalam Ef.5:14 terdapat kutipan pendek dari suatu bentuk nyanyian, yang merupakan seruan kepada orang-orang Kristen, yang bukanlah tidak mungkin. Kata-kata tersebut telah menjadi begitu dikenal sehingga nampaknya Paulus dapat mengutipnya dalam suatu kerangka yang berbeda dan dengan pengertian yang lebih luas.
Dalam I Kor.14:26, Paulus membicarakan beberapa masalah yang timbul dalam
kebaktian yang dilakukan oleh Jemaat di Korintus. Ia menyebutkan beberapa kebiasaan, yaitu: menyanyikan puji-pujian, membaca Alkitab, menyampaikan pernyataan Allah, berbahasa-lidah atau menafsirkan bahasa-lidah. Ia tidak memberikan perincian lebih lanjut, kecuali bahwa semuanya itu harus dilakukan untuk memberikan manfaat. Inilah yang merupakan tolak ukur pendekatan Paulus pada tata cara kebaktian. Agar hal ini dapat tercapai, ia memberikan nasihat bahwa ketertiban harus diperhatikan (1 Kor.14:40: “Segala sesuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur”).
“Pelayanan firman”. Mengenai pelayanan firman, yang perlu diperhatikan hanyalah bahwa kutipan-kutipan dari Kitab Suci yang sering dipergunakan oleh Paulus dalam surat-suratnya mengisyaratkan bahwa para pembacanya yang bukan Yahudi sudah mengenal isi kitab LXX. Karena itu, cukup beralasan untuk beranggapan bahwa pembacaan Kitab Suci secara teratur merupakan suatu bagian penting dalam pertemuan-pertemuan ibadah Kristen. Satu-satunya keterangan langsung mengenai hal ini adalah I Tim.4:13, di situ Timotius didorong untuk “bertekun dalam membaca Kitab-kitab Suci, dalam membangun dan dalam mengajar”.
Tidak mungkin untuk mengatakan kapan waktunya dalam perkembangan ibadah Kristen, bahan-bahan Kristen yang lainnya (selain PL) dimasukkan kedalam pembacaan umum itu. Paulus sendiri minta dengan sangat agar surat-suratnya dibacakan kepada orang-orang di dalam Jemaat-jemaat (Kol.4:16). Ia mengharapkan agar orang-orang Kristen memegang ajaran-ajaran yang telah diajarkan oleh rasul-rasul, baik secara lisan maupun secara tertulis (2 Tes.2:15). Ia tidak memberikan petunjuk tentang termasuknya ajaran-ajaran tentang kehidupan dan pengajaran Yesus, walaupun dalam I Tim.5:18 nampaknya ia menggolongkan suatu ucapan Yesus (yang dicatat oleh Lukas) sebagai Kitab Suci. Kelihatannya Jemaat bukan hanya beribadah tetapi juga menangani tugas untuk menyampaikan kepada anggota-anggotanya suatu pegangan iman yang masuk akal, dengan cara pembacaan Kitab Suci di depan umum dan pengajaran.
“Pengakuan iman”. Penting untuk memikirkan sampai seberapa jauh pengakuan-pengakuan iman dipergunakan dalam Jemaat-jemaat Kristen mula-mula, karena hal ini memang mempengaruhi bentuk Jemaat-jemaat. Kadang-kadang dikatakan bahwa Paulus sebagai seorang ahli teologi yang kreatif tidak akan mendukung penggunaan pengakuan-pengakuan iman yang merumuskan ajaran, kemudian dugaan ini digunakan sebagai dasar untuk menyangkal bahwa tulisan-tulisan yang nampaknya mendukung kebiasaan tersebut (seperti surat-surat Penggembalaan) sudah dikarang Paulus. Pandangan tersebut menyalahgunakan bukti yang ada, dan tidak masuk akal untuk berkata bahwa Paulus sama sekali tidak mau menggunakan pernyataan-pernyataan yang ringkas tentang ajaran.
Paulus tentunya mengakui pengakuan-pengakuan yang singkat seperti “Yesus adalah Tuhan” (Rm.10:9; Flp.2:11). Tetapi ia juga mengakui adanya suatu kumpulan tradisi Kristen. Ia menyatakan bahwa ia sendiri telah menerima penjelasan yang diberitakan kepadanya (1 Kor.15:1 dst) dan bahwa orang-orang Kristen di Roma telah menerima suata “pengajaran yang telah diteruskan kepadamu” yang mereka taati (Rm.6:17). Ia mendorong orang-orang Filipi untuk “berpegang pada firman kehidupan” (Flp 2:16). Pengungkapan-pengungkapan yang bermacam-macam ini tentu menunjuk pada suatu kumpulan ajaran Kristen yang umum diakui dalam Jemaat-jemaat. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila kita menemui istilah-istilah seperti “memelihara iman”, atau “contoh ajaran yang sehat” dalam surat-surat Penggembalaan. Terdapat juga banyak contoh tentang cara Paulus menggunakan ungkapan “iman”, dengan memaksudkan lebih daripada hal percaya saja (misalnya Flp.1:27; Ef.4:5; Kol.2:6,7). Hal yang sama dapat dikatakan juga mengenai ungkapan “kebenaran” (misalnya Kol.1:5; 2 Tes.2:12).
Dengan jelas Paulus memperhatikan bahwa Jemaat-jemaat Kristen bukan hanya harus mengetahui, tetapi juga harus tetap mempertahankan dasar dari penyerahan mereka sebagai orang Kristen. Terdapat suatu keadaan yang dapat disebut “injilku”, sebagai perbandingan dengan segala injil lain yang dianggap khilaf (bnd. Gal.1:8). Telah timbul pendapat bahwa tradisi yang dituliskan dalam I Kor.15:3 dst. adalah suatu pengakuan iman Kristen yang mendasar yang merupakan pengukur bagi ajaran yang bersifat Kristen dan yang bukan. Jika hal ini benar, maka penting untuk diperhatikan bahwa yang ditekankan ialah kematian dan kebangkitan Kristus dan penafsiran kematian itu “sesuai dengan Kitab Suci”. Karena itu, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa suatu bentuk pernyataan iman pada masa dahulu telah diterima oleh Paulus sebagai dasar yang otentik bagi keanggotaan dalam Jemaat-jemaat yang berkembang.
“Doa”. Kedudukan dan pentingnya doa dalam Jemaat-jemaat Kristen haruslah diperhatikan. Paulus sendiri memasukkan banyak doa kedalam surat-suratnya dan dengan sendirinya hal ini memperlihatkan pentingnya doa bagi orang-orang yang baru percaya. Ia juga memperlihatkan pentingnya doa mengenai keperluan-keperluannya sendiri (2 Kor.12:8). Tetapi lebih daripada ini ia mengakui nilai dari doa bersama. Orang-orang Kristen dapat digambarkan sebagai “semua orang di segala tempat, yang berseru kepada nama Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Tuhan mereka dan Tuhan kita” (1 Kor.1:2). Doa Paulus sendiri dalam Ef.1:3-14 dapat diambil sebagai contoh yang menggambarkan isi doa-doa dari orang-orang Kristen mula-mula, dan memang bukanlah tidak mungkin bahwa ia mengulang bahasa yang telah dikenalnya melalui pengalaman yang nyata dari ibadah yang dilakukan dalam Jemaat. Dalam penyembahannya kepada Allah, ia memperkenalkan beberapa gagasan teologis yang dalam, yang mengingatkan kita bahwa doa orang-orang Kristen tidak terpisahkan dari prinsip-prinsip iman Kristen. Jemaat di Kolose didorong untuk terus berdoa, secara khusus bagi Paulus dan orang-orang yang membantunya (Kol.4:2; bnd. juga 1 Tes.5:25).
Salah satu segi doa yang dikemukakan oleh Paulus adalah pentingnya “mengucap syukur”. Ia memberikan contoh dalam doa-doanya sendiri dan mendorong agar para pembaca suratnya melakukan hal yang sama (Kol.4:2; Flp.4:6; bnd. 1 Kor.14:16). Doa yang dilakukan oleh masing-masing pribadi maupun dalam ibadah bersama dimaksudkan sebagai sesuatu yang menggembirakan, dan merupakan kesempatan mengakui kebaikan Allah di dalam Kristus yang menakjubkan. Segi yang lain ialah penggunaan ungkapan-ungkapan singkat seperti Amen (2 Kor.1:20) dan Maranata (1 Kor.16:22); kedua kata itu penting karena bukan merupakan kata-kata Yunani namun telah dipakai dalam kerangka Yunani. Kedua kata itu tidak boleh dianggap sebagai slogan ibadah belaka, karena ungkapan yang pertama mengakui kepercayaan akan kedatangan Tuhan. Karenanya kedua kata itu mempunyai nada teologis. Kata Aram yang lain yang nampaknya tetap dipertahankan dalam bentuknya yang semula bersama-sama dengan terjemahannya dalam bahasa Yunani ialah Abba (Bapa), dan kata ini dipakai oleh orang-orang Kristen, yang didorong oleh Kudus (Rm.8:15; Gal.4:6).

3. Pemimpin-pemimpin Jemaat.
Penyelidikan mengenai pandangan Paulus tentang kepemimpinan Jemaat Kristen harus dimulai dari dasar bahwa Jemaat adalah tubuh dengan Kristus sebagai Kepalanya. Tidak mungkin ada struktur otoritas tanpa meletakkan otoritas tertinggi pada Kristus sendiri. Lagi pula, dalam hal ini pun haruslah dipahami bahwa yang dimaksudkan dengan otoritas adalah otoritas yang dimiliki oleh masing-masing bagian untuk melaksanakan peranannya (organis) dan bukan secara struktur organisasi. Kepala adalah milik tubuh sebagaimana tuduh adalah milik Kepala. Bentuk otoritas ini paling intim, karena tubuh hanya dapat berfungsi secara efisien apabila langsung memberikan tanggapan pada perintah Kepala. Pejabat-pejabat gerejawiyang disebutkan haruslah dipandang sebagai orang-orang
yang melaksanakan peranan mereka yang bermacam-macam di bawah pimpinan Kepala.
Sebelum membahas macam-macam jenis pemimpin, kita harus memeperhatikan bahwa Paulus telah banyak berbicara tentang pelayanan ( diakonia) yang menunjukan kasih tanpa memiliki status jabatan apapun. Ciri pelayanan yang penting ialah hal membantu kemajuan Jemaat ( 1 Kor 16:15; Ef 4:12 ). Mungkin yang dimaksudkan Paulus ialah tindakan praktis yang menyatakan kasih dan perhatian (seperti yang terjadi dalam Kis 6:1), namun ada kemungkinan bahwa pemberitaan diikutsertakan (seperti yang diisyaratkan dalam 2 Kor 5:18-19). Lagi pula, dalam daftar dalam Rom.12:6-7 dikonia ditempatkan diantara “bernubuat” dan “mengajar”. Penyelidikan kita tentang macam-macam jabatan gerejawi tidak boleh melupakan latar belakang pelayan kasih ini yang diharapkan akan dinyatakan oleh semua orang Kristen.
“Pejabat-pejabat gerejawi”. Mengeharankan bahwa hanya terdapat sedikit keterangan tentang organisasi kehidupan Jemaat dalam surat-surat Paulus, kecuali dalam surat-surat Penggembalaan. Keteranga mengenai pejabat-pejabat gerejawi dalam Surat Tesalonika diungkapkan dengan cara yang samar-samar sekali, yaitu “mereka yang memimpin kamu dalam Tuhan” (proistamenoi, 1 Tes 5:12). Paulus tidak memakai gelar mereka, tetapi kemungkinan besar mereka adalah penatua-penatua (presbusteroi), karena menurut Kisah para Rasul, Paulus dan rekan-rekan kerjanya mempunyai kebiasaan untuk mengangkat penatua-penatua dalam setiap Jemaat yang mereka dirikan (Kis 14:23). Jelaslah bahwa dalam Surat Tesalonika Paulus lebih menaruh perhatian pada peranan penatua dan bukan pada jabatannya, dan mungkin benar bila mengatakan bahwa ini biasa dalam apa yang kita sebut sebagai teologi Paulus tentang pengaturan Jemaat.
Surat kepada jemaat di Filipi adalah surat satu-satunya yang di dalamnya Paulus menyebutkan jabatan-jabatan gerejawi secara jelas. Surat itu ditujukan kepada orang-orang Kudus, dengan para penilik Jemaat dan diaken (Flp 1:1). Terlihat bahwa tidak ada prioritas secara khusus yang diberikan kepada pejabat-pejabat melebihi anggota-anggota Jemaat secara umum. Karena penilik Jemaat disebutkan dalam betuk jamak, maka jelaslah bahwa penilik jemaat disini berarti mereka yang disebut sebagai penatua-penatua dalam tempat lain. Alasan mengapa disebutkan kedua jabatan gerejawi itu di sini, mungkin ialah karena dalam surat ini Paulus secara khusus menyebutkan pemberian-pemberian yang dikirimkan oleh jemaat, dan dalam hal ini yang bertanggungjawab rupanya pejabat-pejabat gerejawi tersebut. Jelas bahwa Paulus tidak berkeinginan untuk memberikan kesan bahwa ia mengirimkan suratnya kepada pemimpin-pemimpin dengan mengesampingkan orang-orang yang dipimpinnya. Jemaat di Korintus memperlihatkan pola yang agak berbeda karena Paulus membahas kharismata (lihat pembahasan lebih lanjut pada bagian di bawah ini), diantaranya ia menyebutkan “mereka yang mendapat karunia untuk melayani (dan) untuk memimpin” (1 Kor 12:28). Yang paling penting adalah penekanan bahwa karunia-karunia ini, sama seperti karunia-karunia yang lain, ditetapkan oleh Allah. Terlihat juga bahwa orang-orang yang melayani dan memimpin ini melengkapi rasul-rasul, nabi-nabi dan pengajar-pengajar yang disebut terdahulu. Ketiga jabatan yang disebut terakhir ini tentu saja tidak dimaksudkan untuk dibebani dengan tugas-tugas administratif; dalam hal ini Paulus sependapat dengan para rasul yang disampaikan kepada seluruh Jemaat Yerussalem menurut Kis.6. jika kita menyelidikan kuasa pengaturan Jemaat yang dimiliki oleh rasul-rasul, nabi-nabi dan pengajar-pengajar, maka tidak ada bukti bahwa nabi-nabi atau pengajar-pengajar memegang kuasa memerintah dalam Jemaat-jemaat. Tetapi lain halnya tentang para rasul, mengingat usaha Paulus untuk mempertahankan hak-haknya untuk menjalankan wewenang seorang rasul.
Mengenai kedudukan dirinya, tidak disangsikan bahwa Paulus menganggap kerasulannya memberinya kuasa tertentu. Hal ini terlihat khususnya di Korintus mengenai masalah seseorang yang berzinah dengan orang yang mempunyai hubungan keluarga dekat (1 Kor 5:5). Paulus memberikan pernyataannya dan mengharapkan agar anggota-anggota Jemaat itu menerima keputusannya. Ia bahkan tidak memberikan saran bahwa masalah itu harus dibahas. Menurut pandangannya, pendekatan Kristen adala tegas dan jelas. Sikap demikian itu berlaku bagi semua masalah yang terjadi di Korintus, tetapi terhadap hal-hal ini pun ia mengungkapkan pendapat yang cukup jelas (bnd 1 Kor 7:12,40). Kita dapat katakan lebih jauh bahwa dalam semua suratnya, apakah mereka yang tidak mengenal kehadirannya secara pribadi, ia menganggap bahwa para pembacanya akan menerima kuasanya. Karena itu kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada waktu ia memisahkan rasul-rasul dari pemimpin-pemimpin, ia bukan bermaksud membeda-bedakan kekuasaan mereka, tetapi hanya untuk menangani soal-soal organisasi. Para rasul mempunyai wibawa untuk memberitakan dan mengajar (lihat di bawah: ps 31.4.b), tetapi para pemimpin rupanya harus menangani pelaksanaan praktis dari prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh rasul-rasul.
Susunan lain terdapat dalam Ef.4;11, sekali lagi peranan-peranan dalam jemaat digambarkan sebagai “karunia-karunia”. Susunan ini mencakup rasul-rasul, nabi-nabi dan pengajar-pengajar seperti dalam I Kor.12:28, tetapi juga ada ditambahkan pemberita-pemberita Injil dan gembala-gembala sidang. Sekali lagi segi fungsional ditekankan. Tidaklah perlu menduga bahwa kadang-kadang karunia-karunia ini tidak bertumpang tindih. Bagi Paulus, sekali lagi yang penting adalah bahwa pekerjaan pelayanan jauh lebih penting daripada suatu hierarki jabatan.
Timbul pertanyaan, apakah dalam surat-surat Penggembalaan terdapat pendekatan pada organisasi Jemaat yang berbeda sama sekali dengan yang diuraikan diatas, dan mengingat hal ini apakah dapat dipertahankan bahwa surat-surat tersebut ditulis oleh Paulus. Kita perlu memeriksa dulu surat-surat Penggembalaan sebelum jawaban yang meyakinkan dapat diberikan. Kita perhatikan fakta-fakta berikut ini.
Pertama-tama, hanya dua kelompok pejabat gerejawi yang disebutkan, yaitu penilik-penatua dan diaken. Mungkin ada kelompok ketiga, yaitu kelompok diaken perempuan, tetapi hal ini masih diperdebatkan. Dua perikop membicarakan penilik jemaat secara khusus (1 Tim.3:1-7 dan Tit.1:7-9). Perikop kedua merupakan kunci bagi perikop yang pertama, karena Tit.1:5-7 berbicara mengenai penatua-penatua, yang kemudian dihubungkan dengan jabatan penilik jemaat. Karena itu episkopos adalah seorang penatua yang menjalankan peranan khusus untuk mengatur. Tidak perlu menduga bahwa keadaan itu berada pada keadaan di Filipi, hanya di sini kita memiliki daftar sifat-sifat baik yang di-
dapatkan di dalam diri orang-orang yang ingin memegang jabatan tersebut.
Sifat-sifat tersebut begitu mendasar sehingga memperlihatkan kekurangan orang-orang yang cocok untuk jabatan dalam Jemaat. Perhatian utama dari penulis ialah bahwa orang-orang yang memegang jabatan harus menunjukkan teladan yang baik bagi orang-orang lain. Mereka harus pandai mengajar, karena peranan mereka adalah untuk meneruskan apa yang telah diajarkan kepada mereka sendiri (bnd. juga 2 Tim 2:2). Penjelasan ini jauh sekali dari gagasan tentang seorang uskup yang memerintah (satu Jemaat, satu uskup) yang berkembang kemudian hari. Haruslah diperhatkan bahwa baik Timotius maupun Titus diperintahkan untuk mengadakan pengangkatan. Meskipun demikian, mereka tidak bertindak sebagai uskup agung, seperti pendapat beberapa orang, tetapi mereka hanya melaksanakan wewenang yang diberikan oleh rasul Paulus. Kita harus berhati-berhati untuk tidak memasukkan hal-hal yang terjadi pada zaman yang kemudian ke dalam surat-surat Penggembalaan.
Peranan para diaken tidak diterangkan (1 Tim 3:8 dst), tetapi sifat-sifat yang diperlukan untuk jabatan tersebut sejalan dengan persyaratan untuk penili jemaat: penekanan utama terletak pada teladan kehidupan mereka. Mereka yang terpilih untuk mengurus Jemaat harus dikenal dari kemampuan mereka dalam mengurus rumah tangga mereka sendiri. Tidak ada cara yang diusulkan untuk memilih orang yang tepat. Surat-surat kiriman ini, sama seperti bagian PB yang lain, tidak mendukung pandangan bahwa Jemaat-jemaat Kristen diatur secara demokratis. Sebetulnya, keadaannya tidak jauh berbeda dari keadaan dalam Kis.6:3, di situ masalah pemilihan diserahkan pada Jemaat untuk memilih orang-orang yang penuh Roh Kudus yang sesuai untuk menangani pekerjaan itu.
Walaupun tidak jelas apakah terdapat jabatan diaken perempuan, karena I Tim.3:11 dapat ditujukan kepada istri-istri diaken, namun tentu terdapat daftar yang sah mengenai para janda yang memenuhi syarat untuk memperoleh bantuan Jemaat (1 Tim 5:9). Janda-janda yang berumur lebih dari enam puluh tahun ini masih dianggap barguna untuk tugas-tugas praktis dalam Jemaat. Sekali lagi dapat dicatat bahwa segi organisasi bersifat luwes, pelaksanaannya diatur dengan pertimbangan-pertimbangan praktis bukan dengan pola yang kaku.
Tidak ada alasan untuk menduga bahwa pendekatan pada tata Jemaat dalam surat-surat Penggembalaan haruslah dianggap terjadi pada masa sesudah masa Paulus. Unsur yang penting bagi Paulus ialah adanya keteraturan, dan tidaklah sulit untuk menduga bahwa ia akan mengajar rekan-rekan sekerjanya yang terdekat, Timotius dan Titus, tentang cara yang paling baik untuk memastikan hal ini. Keadaan yang digambarkan dalam surat-surat Penggembalaan tidak lebih berkembang daripada keadaan jemaat di Filipi. Seandainya Paulus tidak memberikan petunjuk-petunjuk mengenai pengaturan Jemaat, ia harus dianggap buta ayam. Pandangan mengenai “keteraturan” ini juga didukung oleh nasihat Paulus kepada jemaat di Korintus yang mengatakan bahwa “segala sesuatu harus berlangsung sopan dan teratur” (1 Kor 14:40). Tetapi Paulus tidak menentukan suatu pola pengatuan pada Jemaat-jemaat setempat untuk mencapai sasaran ini.
Berikut ini kita akan memikirkan pendekatan Paulus pada karunia-karunia kharismatik, untuk mengetahui peranan apa yang ia berikan kepada karunia-karunia ini dalam pengertiannya tentang Jemaat.
“Karunia-karunia kharismatik”. Terdapat pembahasan yang lengkap mengenai karunia-karunia Roh dalam Surat I Kor.intus, dan juga daftar yang singkat mengenai pokok yang sama dalam Rom.12:6-8 dan Ef.4:11. dalam Surat I Korintus sebetulnya terdapat tiga daftar yang terpisah (1 Kor 12:28,29-30,8-10). Dari aftar-daftar ini dapat disusun sebuah daftar gabungan yang terdiri dari delapan belas pokok. Analisa terhadap pokok-pokok ini menunjukkan keanekaragaman, termasuk jabatan-jabatan (seperti rasul, pengajar, nabi, pemberita Injil), sifat-sifat peribadi (seperti membedakan bermacam-macam roh, iman, belas kasihan, kemurahan hati) dan karunia-karunia lain (seperti pengetahuan, berkata-kata dengan bahasa lidah, menafsirkan bahasa-lidah, memimpin). Beberapa karunia memiliki kesamaan dengan kemampuan-kemampuan alamiah (wajar) sedangkan karunia-karunia yang lain lebih bersifat luar biasa. Karena itu nampaklah bahwa istilah kharismata mencakup segala kegiatan secara meluas yang membentuk pengalaman Jemaat. Mengingat hal ini tentulah “karunia-karunia” ini memainkan peranan yang penting dalam pandangan Paulus mengenai Jemaat, dan karena terdapat banyak kesalahpengrtian mengenai hal ini, maka kita harus mempetimbangkannya secara hati-hati.
Kharismata itu telah dibahas diatas dalam bagian tentang Roh Kudus sekarang kita hendak memperhatikan kepentingan karunia-karunia itu dalam hubungannya dengan Jemaat. Kita akan membahas ciri dari kharismata, apakah hubungannya dengan baptisan Roh, dan apakah hubungannya dengan kepemimpinan Jemaat-jemaat yang resmi.
Ciri dari karunia-karunia kharismatik. Kata kharisma hanya ditemukan satu kali di luar surat-surat Paulus dalam PB (yaitu dalam 1 Ptr 4:10), dan karena itu mungkinlah pantas bila dikatakan bahwa istilah itu bersifat khas Paulus. Jelas ia bermaksud untuk memperlihatkan hubungan yang erat dari karunia-karunia ini dengan anugerah (kharis). Melalui istilah itu kita diingatkan bahwa karunia-karunia Roh memiliki arti dan hubungan hanya di dalam perjanjian anugerah. Karunia-karunia tidak akan diberikan andaikata anugerah Allah tidak terlebih dahulu membuka jalan melalui proses penebusan. Karunia-karunia tidak menggantikan karya penebusan Allah, tetapi merupakan akibat karya Allah itu. Apakah kharismata itu merupakan miliki seseorang secara khusus (dapat digunakan setiap saat) atau apakah karunia-karunia itu ada kaitannya dengan aktivitas yang menggunakannya (diberikan hanya kepada kesempatan-kesempata tertentu)? Sebagai contoh, misalnya karunia iman; apakah ini dianggap sebagai milik seseorang dalam pengertian jenis iman yang khusus, atau apakah berarti penguatan pada suatu saat dari iman yang sudah ada? Masalahnya ialah bahwa Paulus tidak menerangkan karunia-karunia yang didaftarkannya. Tetapi ia memasukkan macam-macam karunia secara bercampur, ada beberapa karunia yang dapat dianggap sebagai aktivitas, ada karunia-karunia lain yang dapat dimengerti sebagai milik seseorang. Karena itu, mungkin Paulus tidak membeda-bedakan karunia-karunia menurut kriteria itu.
Beberapa orang berpendapat bahwa kharisma bukanlah merupakan milik seseorang atau pun suatu jabatan, melainkan merupakan pernyataan khusus dari anugerah Allah pada suatu kesempatan tertentu. Tetapi yang lain suda yakin bahwa pemilikan suatu jabatan dapat disebut suatu kharisma. Pasti kedua pandangan tersebut masing-masing mempunyai unsur kebenarannya, dan tidak satu pun dari kedua pandangan itu yang harus ditekankan sehingga sama sekali menyingkirkan pandangan yang lain. Sebagai contoh, jika seseorang menunjukkan bahwa ia menerima karunia kepemimpinan, ia boleh memimpin walaupun ia tidak menerima jabatan tertentu dalam Jemaat. Pada pihak lain, jika seseorang memiliki suatu jabatan, ia hanya dapat menempati jabatan itu dengan efektif jika ia juga memiliki kharisma untuk hal itu. Sangatlah dipertanyakan apakah di dalam pikiran Paulus kedua hal tersebut dipisahkan. Suatu pengertian yang benar mengenai ciri karunia-karunia mempengaruhi penafsiran kita mengenai pandangannya tentang hubungan kharismata dengan lembaga-lembaga di dalam Jemaat, yang dibahas pada bagian di bawah ini.
Masalah lain adalah mengenai hubungan antara kharismata dengan karunia-karunia alamiah. Sifat dasar dari kharismata ialah, karunia-karunia itu merupakan pekerjaan Roh Allah yang diprakarsai oleh Allah sendiri, dan karena itu harus dibuat perbedaan antara kharismata dan karunia-karunia yan alamiah. Hal ini bukanlah berarti bahwa dalam pandangan Paulus Allah tidak mempergunakan karunia-karunia alamiah manusia. Memang, kita dapat menghilangkan dari pokok kharismata ini, pengembangan karunia-karunia alamiah melalui pekerjaan Roh Kudus. Namun, pandangan Paulus tentang perkembangan Jemaat berpusat pada Allah dan buka berpusat pada manusia. Manusia, secara pribadi atau bersama-sama, harus begantung pada Roh Kudus, dan semua pengajaran Paulus mengenai kharismata diarahkan pada tujuan itu. Kita dapat mengatakan bahwa beranekaragamnya karunia-karunia tersebut menunjukkan keyakinan Paulus bahwa tidak ada sesuatu pun yang bermanfaat yang dapat dikerjakan terlepas dari karya Allah. Ia tidak pernah beranggapan bahwa pengetahuan, atau hikmat, atau pengungkapan, dalam pelayanan Allah dapat timbul dari kemampuan akal budi alamiah.
Penerimaan karunia-karunia kharismatik. Sebagaimana sifat yang tepat dari karunia-karunia itu telah dipersoalkan, demikian pula sudah timbul perbedaan pendapat tentang kapan karunia-karunia itu diberikan. Ada dua pandangan utama, pandangan yang pertama mengatakan bahwa karunia-karunia itu diterima bersama dengan datangnya Roh Kudus pada waktu pertobatan, pandangan yang lain mengatakan bahwa karunia-karunia itu diberikan sebagai kelanjutan dari baptisan Roh Kudus yang berbeda dengan pengalaman bertobat. Jika kita memperhatikan tulisan Paulus nampaknya pandangan yang kedua kurang mendapat dukungan: beberapa perikop dalam Kisah Para Rasul selalu dipakai sebagai alasan oleh mereka yang memegangnya. Paulus dengan jelas sekali mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat mengaku Yesus adalah Tuhan selain oleh Roh Kudus (Rm.8:16 dst; 1 Kor.12:3). Ia tidak pernah berbicara mengenai suatu baptisan bahwa kharismata tidaklah diberikan pada suatu saat tertentu sebagai tanda anugerah yang khusus.
Tidak dapat disangkal bahwa Paulus menulis seolah-olah semua anggota Jemaat
Korintus mendapat bagian dalam karunia-karunia Roh (bnd. 1 Kor 12:4-6). Memang diakui bahwa Paulus mendorong para pembaca untuk menginginkan karunia-karunia yang “paling utama” (1 Kor 12:31) seolah-olah dorongan yang kuat diperlukan jika karunia-karunia yang terutama akan diperoleh. Tetapi karena dalam perikop yang sama itu pula ia menyatakan dengan jelas bahwa Roh Kudus memberikan karunia kepada tiap-tiap orang menurut kehendak-Nya sendiri (1 Kor 12:11), maka ia tidak mungkin memaksudkan bahwa karunia-karunia tertentu dapat dimiliki dengan cuma-cuma. Apa yang diserangnya adalah penekanan yang berlebihan pada karunia ekstatis yang meremehkan karunia yang kurang menakjubkan padahal lebih penting. Susunan karunia-karunia yang dituliskan dalam perikop ini adalah penting. Karunia ekstatis seperti berbicara dalam bahasa-lidah ditempatkan pada susunan yang di bawah, sedangkan karunia-karunia yang kurang menakjubkan diberi prioritas.
Kunci pendekatan Paulus terletak pada keyakinannya bahwa karunia-karunia Roh dimaksudkan “untuk kepentingan bersama” (1 Kor 12:7) dan “untuk membangun Jemaat” (1 Kor 14:22). Orang-orang di Korintus dengan jelas telah membuat kesalahan dengan menganggap karunia-karunia Roh sebagai alat untuk menonjolkan diri; mereka melupakan bahwa karunia-karunia juga mempunyai segi persekutuan. Pendekatan Paulus menjadi jelas pada waktu ia meminta dengan tegas bahwa setiap pemakaian bahasa-lidah di hadapan umum harus disertai dengan penafsiran, karena dengan begitu baru dapat diperoleh manfaat untu kemajuan Jemaat (bnd. 1 Kor 14:13 dst). Segi kemajuan Jemaat inilah yang merupakan dasar untuk memahami pandangan Paulus mengenai keduduka kharismata dalam Jemaat. Hal ini membawa kita pada pertimbangan tentang pengaruh karunia-karunia terhadap organisasi Jemaat.
Kedudukan kharismata dalam pengaturan Jemaat. Kita telah meringkaskan pen-
jelasan Paulus mengenai jabatan-jabatan tertentu di dalam Jemaat-jemaat yang menerima surat-suratnya, jabatan-jabatan yang memberi pejabatnya hak untuk memimpin. Kita juga telah memikirkan beberapa kharismata yang berhubungan dengan kualitas kepemimpinan. Sekarang kita perlu membahas hubungan yang khusus antara kedua macam kekuasaan ini, yaitu yang resmi dan yang kharismatik.
Menurut salah satu teori, pandangan Paulus yang mendasar ialah bahwa Jemaat
dipimpin secara kharismatis, maksudnya ialah bahwa Allah menyatakan kehendak-Nya melalui mereka yang dipimpin oleh Roh Kudus dan yang dianugerahi karunia kepemimpinan. Jemaat tidak memerlukan organisasi, karena masing-masing pribadi memberikan tanggapan pada pimpinan Roh Kudus. Jika teori ini benar, maka itu berarti bahwa tidak timbul kebutuhan akan jabatan-jabatan resmi (yang bersifat lembaga) sampai saat pelayanan kharismatis itu gagal karena kegagalan Jemaat dalam menanggapi pimpinan Roh Kudus. Tentunya haruslah diperhatikan bahwa dalam Jemaat di Korintus tidak disebutkan mengenai pejabat-pejabat gerejawi, hanya mengenai karunia-karunia kharismatis. Nampaknya cukup beralasan untuk menduga bahwa dalam hal ini tata Jemaat dipimpin secara kharismatis dan hal ini memperlihatkan keadaan yang ideal. Lagi pula, Paulus memandang Jemaat sebagai tubuh yang masing-masing anggotanya memiliki paling sedikit satu kharisma, walaupun karunia-karunia ini berbeda-beda dan tidak seorang pun yang dianggap memiliki semua karunia itu (bnd. 1 Kor 12:14 dst).
Tentunya Paulus memandang Jemaat di Korintus sebagai perhimpunan kharismatik, tetapi penggunaan kiasan tentang tubuh memberikan kesan bahwa tidak semuanya sejalan dengan keadaan Jemaat ini. Tetapi kurangnya keteranan mengenai kepemimpinan mugkin timbul karena orang-orang Korintus menganggap diri mereka cukup “rohani” sehingga tidak merasa memerlukan hal itu. Terdapat kemungkinan yang kuat bahwa jemaat di Korintus merupakan kekecualian dan bukan pola yang umum, maka tidak dapat dianggap sebagai suatu norma. Surat-surat Paulus yang lain, juga kitab Kisah Para Rasul, menunjukkan bahwa Paulus melihat adanya kebutuhan akan organisasi, dan teori yang dikemukakan di atas tidak cukup menghargai hal ini: sejalan dengan pelayanan kharismatis, terdapat juga semacam pelayanan yang bersifat lembaga (khususnya rasul-rasul, penatua, penilik jemaat, diaken). Suatu uraian ajaran Paulus tentang hal pelayan harus memasukkan
kedua unsur itu.
Pandangan yang paling beralasan mengenai hubungan kharismata dengan pelayanan-pelayanan yang lain ialah bahwa penggunaan kharisma itu sendiri dianggap sebagai pelayanan. Karunia-karunia tersebut dianggap sebagai pelayanan bagi orang-orang lain dengan satu tujuan yaitu untuk kemajuan Jemaat seluruhnya. Tidak menjadi persoalan apakah Jemaat memperoleh kemajuan karena adanya kharismata atau karena pelayanan yang teratur dari pengajar-pengajar Jemaat. Perpecahan yang di duga terjadi diantara kedua hal itu timbul sebab adanya pandangan bahwa kharismata lebih unggul daripada pelayanan para pengajar Jemaat; tetapi pandangan ini tidak mendapat dukungan dalam surat-surat Paulus. Lagi pula, mempertentangkan kedua hal itu adalah keliru karena menganggap bahwa pejabat-pejabat dalam Jemaat tidak diangkat oleh Roh Kudus.
Persoalan yang lebih sulit ialah, dimanakah dasar wewenangnya, apakah di dalam kharisma atau di dalam jabatan? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus mempertimbangkan pandangan Paulus mengenai wewenang rasuli karena hal ini memainkan peranan yang penting dalam pengertiannya tentang Jemaat. Lagi pula, rasul-rasul temasuk dalam daftar kharismata yang diberikan oleh Paulus, dan pengertian yang benar akan pandangannya mengenai hal ini akan menyoroti hubungan antara karunia-karunia dan jabatan.
Tidak disangkal bahwa Paulus mempunyai pandangan yang tinggi mengenai wewenang rasul. Lebih jauh, ia menganggap kerasulan sebagai karunia khusus dari Allah (Rm.1:5; Gal.1:1). Panggilan Paulus sendiri sebagai rasul menempatkan dia pada tingkat yang sama dengan rasul-rasul di Yerussalem (bnd. penjelasannya dalam Gal.2). Ia mengakui bahwa kualifikasi khusus dari seorang rasul ialah bahwa ia teleh menyaksikan kebangkitan Kristus dan diangkat oleh Kristus. Paulus menyatakan bahwa ia memenuhi syarta-syarat sebagai seorang rasul karena menerima pernyataan kristus (Gal.1:1,12). Rasul-rasul dipercayakan mengemban tugas untuk memberitakan Injil. Paulus menjelaskan bahwa ia dipanggil untuk menjadi pelayan kepada orang-orang bukan Yahudi (Rm.1:5-6; Gal.2:8). Dalam daftar peristiwa-peristiwa penampakan dari Kristus yang khusus, yang terdapat dalam I Kor.15, Paulus menyebutkan dirinya sebagai “anak yang lahir sebelum waktunya” (1 Kor.15:8), yang memberikan kesan bahwa dialah rasul yang terakhir. Bagi Paulus kerasulan adalah jabatan yang terbatas pada suatu kelompok tertentu dan karena itu tidak bisa terus berlangsung.
Rupanya di Korintus ada beberapa orang yang menyebut diri rasul-rasul; Paulus merasa perlu untuk melawan pandangan-pandangan mereka. Dalam 2 Kor.11:13 ia menyebut mereka “rasul-rasul palsu” yang menyamar sebagai “rasul-rasul Kristus”. Jelas mereka berbuat demikian karena mencari wewenang rasul-rasul. Sebutan yang agak menghina dalam 2 Kor.11:5 ; 12:11, yaitu “rasul-rasul yang tak ada taranya”, menjelaskan bahwa mereka menyatakan memiliki wewenang yang lebih besar dari pada Paulus. Satu penjelasan yang mungkin ialah bahwa “rasul-rasul palsu” ini berasal dari Yerusalem dan menyatakan berbicara dengan wewenang rasul-rasul Yerusalem. Dalam hal ini mungkin Paulus tidak setuju bahwa rasul-rasul Yerusalem dapat memaksakan wewenang mereka pada Jemaat bukan Yahudi setempat. Tetapi yang lebih mungkin ialah bahwa rasul-rasul palsu tersebut merampas wewenang yang bukan milik mereka. Situasi di korintus ini memperlihatkan bahwa wewenang kerasulan dapat mempunyai pengaruh yang besar dalam Jemaat.
Dengan diakuinya wewenang yang unik yang diberikan kepada rasul-rasul, kita perhatikan akibat-akibat yang berikut ini.
Pelayanan kerasulan dibedakan dari pelayanan-pelayanan lain. Wewenang rasul-rasul tidak
hanya berpengaruh pada suatu daerah setempat tetapi bagi semua orang. Rasul-rasul tidak diangkat oleh Jemaat, malah merekalah pendiri Jemaat (bnd. Ef 2:20).
Tugas mereka bukan hanya meletakkan dasar, tetpai juga berperan untuk menegakkan Jemaat. Paling tidak inilah pandangan Paulus mengenai jabatannya, sebagaimana ditunjukkan dalam surat-suratnya berulang kali. Sebagai seorang rasul ia juga menggunakan wewenangnya untuk melawan ajaran yang sesat (seperti di Galatia dan Kolose) dan memastikan terjadinya perkembangan Jemaat yang teratur.
Jika kita menyelidiki lebih lanjut bagaimana Paulus menjalankan wewenangnya,kita akan memperoleh pengertian yang berharga mengenai keseluruhan pengaturan Jemaat.
Dunn merangkumkan masalah ini dengan singkat.
Paulus jarang menggunakan kata-kata perintah kecuali terpaksa oleh adanya orang-orang yang menentangnya. Petunjuk-petunjuk yang diberikannya sebagian besar merupakan nasihat-nasihat bukan perintah-perintah.
Ia bertindak dengan hati-hati agar tidak melanggar kebebasan orang-orang yang bertobat. Dia tidak menggunakan wewenangnya secara otoriter. Ia mengakui bahwa keefektifan wewenangnya tergantung pada dukungan Jemaat yang dipimpin oleh Roh Kudus (bnd. 1 Kor.5:3-5 ; Kor.2:6-8).
Penggunaan wewenang kerasulan terbatas pada masalah-masalah yang berkaitan
dengan amanat yang dibebankan kepadanya. Sebagai contoh, tatkala Paulus telah menerima firman dari Tuhan, ia memerintahkan untuk taat ; tetapi pada waktu ia menyampaikan pendapatnya sendiri ia bukan bertindak atas wewenang yang diberikan ini, meskipun ia yakin bahwa dipimpin oleh Roh Kudus (bnd. 1 Kor.7:25 dan 1 Kor 7:40).
Dunn menyimpulkan bahwa di luar batas-batas tertentu, Paulus bergantung pada kharisma Roh Kudus sama seperti orang Kristus lain namun haruslah diakui bahwa Paulus mengharapkan teladan kehidupannya akan mempunyai dampak yang besar, walaupun ia tidak memberikan perintah apa pun. Pada waktu ia menulis surat kepada Jemaat-jemaat yang didirikannnya, ia sering memakai pekerjaannya di antara mereka sebagai dasar untuk berseru kepada mereka. Kita tidak dapat memandang rendah posisi yang unik yang dimiliki oleh rasul Paulus, yang juga telah diketahui, yaitu bahwa ia adalah rasul diantara Jemaat-jemaat bukan Yahudi. Juga jelas bahwa ia tidak pernah memakai jabatan kerasulannya sebagai contoh untuk jabatan-jabatan lainnya. Jabatan kerasulan ada untuk maksud tertentu dan hanya untuk waktu yang terbatas. Karena itu, walaupun ia tidak memberikan perintah, kita tidak dapat beranggapan bahwa Paulus membiarkan para pembaca suratnya untuk memilih, apakah mereka akan mengikuti nasihatnya atau tidak.
Pelayanan-pelayanan lain dalam Jemaat berada pada dasar yang berbeda, tetapi pertanyaan mengenai wewenang mereka masih dianggap penting dalam menilai ajaran Paulus tentang Jemaat. Nabi-nabi yang berbicara dibawah pimpinan ilham Roh Kudus dapat memiliki wewenang pada waktu karunia itu digunakan, tetapi tidak ada kesan bahwa mereka memiliki wewenang resmi pada waktu-waktu lainnya. Pernyataan dapat diberikan melalui nubuatan (1 Kor 14:6, 26, 30). Lebih dari itu, nabi-nabi dua kali dihubungkan dengan rasul-rasul (Ef 3:5 ; 2:20), walaupun tidak pasti disini apakah yang dimaksudkan adalah nabi-nabi Kristen. Paulus sendiri memberikan pernyataan yang bersifat nubuat tentang peristiwa-peristiwa yang akan datang (bnd. Rm.11:25 ; 1 Kor.15;51 ; 1 Tes.4:13 dst). ia juga mengakui peranan nubuat dalam menyatakan kehendak Allah untuk masa sekarang (bnd. 1 Tim.1:18). Tentu saja mereka yang terus menerus memakai karunia nubuat akan ditempatkan pada posisi kepemimpinan, walaupun tidak harus secara resmi.
Sejajar dengan nabi-nabi adalah pengajaran-pengajaran, dan timbul pertanyaan bagaimana Paulus membedakan peranan dari kedua kelompok ini. Kemungkinan besar para pengajar dalam tugasnya lebih meneruskan ajaran-ajaran, berbeda dengan tugas nabi-nabi yang berperan untuk menyempaikan pengertian-pengertian baru dalam bentuk ilham. Semua yang terdapat dalam “Injil”, termasuk penyampaian secara hati-hati dari tradisi-tradisi dalam bentuk lisan mengenai kehidupan dan ajaran Yesus (Sebelum penyebaran catatan-catatan dalam bentuk tertulis), mendapat perhatian khusus dari pengajar-pengajar. Sangat mungkin bahwa mereka menangani pengajaran katekisasi bagi petobat-petobat baru. Peranan mereka dalam pembangunan Jemaat sangat diperlukan untuk pertumbuhan suatu himpunan yang kuat yang anggota-anggotanya berpegang erat pada ajaran yang benar.
Dua macam pelayanan fungsional yang lain dapat dipikirkan secara bersama-sama, yakni : pemberita Injil dan gembala sidang. Paulus jarang menyebutkan tentang pemberitaan Injil, tetapi beberapa rekan sekerjanya tentu mengambil bagian bersama-sama dengan dia dalam tugas pemberitaan Injil. Nampaknya peranan utama pemberitaan Injil ialah memberitakan Injil kepada orang-orang di luar Jemaat (bnd. 2 Tim.4:5). Tentu saja tugas pemberitaan Injil diberikan kepada anggota-anggota Jemaat yang berbeda-beda. Karunia ini dapat ditemukan di antara orang-orang yang tidak memangku jabatan dan juga di antara orang-orang yang memegang jabatan. Sangatlah tidak mungkin bahwa Paulus memikirkan sebuah kelompok khusus yang hanya bertugas untuk memberitakan Injil. Pemberitaan-pemberitaan Injil nempaknya tidak memegang suatu fungsi administrati dalam
Jemaat.
Gembala sidang memusatkan perhatiannya untuk mengurus Jemaat, seperti seorang gembala menjaga domba-dombanya. Dalam surat-surat Paulus gagasan ini jelas dihubungkan dengan fungsi Yesus sendiri sebagai Gembala Agung (Yoh.10 ; bnd. 1 Ptr. 2:25), dengan tugas yang diberikan Yesus kepada Petrus (Yoh.21), dan dengan catatan yang terdapat dalam Kisah Para Rasul mengenai nasihat Paulus kepada penatua-penatua di kota Efesus (Kis.20:28) . pada waktu Paulus menguraikan peranan penatua-penatua (penilik-penilik) untuk mengurus Jemaat (1 Tim.3:5), ia masih menekankan fungsi “memelihara” ini. Karena itu, peranan penggembala ialah suatu aktivitas dari kepemimpinan, bukan sebuah jabatan tersendiri. Demi kesejahteraan Jemaat maka penting sekali anggota-anggota Jemaat itu dipelihara (digembalakan), dan tidak mengherankan bahwa sifat-sifat gembala sidang akan dituntut dari para penilik Jemaat. Kharismata tidak dapat dipisahkan dari jabatan. Nampaknya paling beralasan untuk menduga bahwa pelayanan-pelayanan kharismatis tidak dianggap berlawanan dengan jabatan-jabatan yang bukan kharismatis, seolah-oleh yang keduia menggantikan yang pertama. Dalam Jemaat-jemaat yang mendapat surat-surat Paulus tidak ada perbedaan yang jelas antara kedua kelompok tersebut. Keduanya memegang kekuasaan dengan caranya masing-masing.
Untuk menyimpulkan bagian ini kita harus memperhatikan kedudukan karunia-karunia tertentu didalam Jemaat yang telah menjadi pokok perdebatan yang serius, khususnya mengenaui bahasa lidah dan pelayanan kesembuhan. Oleh karena itu, karunia-karunia tersebut tentu mendapat tempat dalam pembahasan mengenai gagasan Paulus tentang Jemaat. Ia tidak hanya mengakui bahwa bahasa lidah itu sah, tetapi menyatakan bahwa ia sendiri memiliki karunia tersebut (1 Kor.14:18). Persoalan utama yang timbul ialah tentang kepentingan yang diberikan Paulus pada karunia itu. Apakah ia menganggap hal itu sebagai karunia yang harus digunakan dalam ibadah bersama atau dalam ibadah pribadi ? dan apakah ia menganggap hal itu sebagai karunia yang harus dirindukan oleh semua orang ?
Sebagai jawaban untuk pertanyaan kedua, haruskah dikatakan bahwa Paulus tidak membayangkan bahwa semua orang akan memilikinya (bnd. 1 Kor.12:29-30). Tentang pertanyaan pertama, nampaknya Paulus lebih suka menganggap hal itu sebagai karunia yang dilakukan secara pribadi dari pada didepan orang banyak. Paulus lebih menaruh perthatian pada kemajuan Jemaat, dan menilai bahwa untuk kepentingan ini berbuat lebih baik daripada bahasa – lidah (bnd. 1 Kor.14:3,4). Pemakaian bahasa lidah dihadapan orang banyak dianggap Paulus dapat memberikan manfaat hanya apabila terdapat juga penafsirannya (1 Kor.14:27-28). Disamping itu, gejala tersebut haruslah diatur secara tertib sehingga dalam suatu kesempatan tidak lebih dari tiga orang yang berbicara dalam bahasa – lidah, dan dilakukan seorang demi seorang (1 Kor.14:27). Nampaknya bahasa - lidah, yang hanya dibahas oleh Paulus dalam suratnya kepada Jemaat di Korintus, telah berkembang di Korintus tanpa arah dan diberi penilaian yang berlebihan, sehingga terjadi kekacauan. Orang-orang yang belum percaya menyebut orang-orang Kristen itu gila (1 Kor.14 :23).
Walaupun Paulus tidak melarang bahasa lidah (1 Kor.14:39) dan mendorong orang Korintus untuk tidak melarangnya juga, namun ia tidak menganggap bahwa karunia ini harus dicari sebagaimana karunia nubuat harus dicari. Perhatian ini memperlihatkan bahwa dalam pengaturan Jemaat ia memberikan nilai yang tinggi pada keteraturan (1 Kor.14:40), dan tentunya tidak mendukung pemberian prioritas kepada siapa saja hanya dengan alasan bahwa orang itu melakukan bahasa lidah. Hal yang sama dapat dikatakan mengenai karunia penyembuhan yang diakuinya sebagai salah satu dari kharismata. Karunia itu dihubungkan dengan “karunia untuk men gadakan mujizat” (1 Kor.12:10, 28), dan dengan “Iman”. Sebagai karunia yang khusus (1 Kor.12:9). Paulus mengakui bahwa ia sendiri mengadakan tanda-tanda (Rm.15:18-19 ; 2 Kor.2:12). Tetapi ia berhati-hati untuk tidak melebih-lebihkan penyembuhan. Orang-orang yang memiliki karunia untuk menyembuhkan tidak ditempatkan pada kepemimpinan. Mereka hanya dianggap sebagai orang-orang yang memiliki perwujudan-perwujudan kuasa Roh Kudus secara khusus, dan pelayanan mereka tidak menyatakan bahwa semua jenis penyakit akan dibuang oleh Injil. Lagi pula tidak semua orang diharapkan akan memiliki karunia penyembuhan (1 Kor.12:30).
Oleh karena kharismata itu adalah pekerjaan Roh Kudus dan diberikan kepada tiap-tipa orang menurut kehendak roh yang berdaulat (1 Kor.12:11), maka tidaklah mungkin untuk meramalkan waktu dan tempat dinyatakannya karunia-karunia tersebut. Mungkin bahwa hanya Jemaat di Korintus yang mengalami pemberian karunia-karunia yang kelihatannya menakjubkan itu (walaupun karunia-karunia itu tidak disebutkan dalam surat-surat Paulus yang lain, namun tidak dapat dijadikan alasan bagi kesimpulan bahwa mereka tidak diketahui oleh jemaat-jemaat lain). Apa yang dapat dikatakan secara pasti ialah bahwa karunia-karunia yang kelihatannya menakjubkan ini tidak memainkan peranan yang menonjol dalam aktifitas Jemaat-jemaat tersebut, sekurang-kurangnya sampai pada tingkat yang terjadi di Korintus. Bukti yang ada memberikan kesan bahwa kharismata dan pelayanan-pelayanan pejabat-pejabat resmi berdiri berdampingan bahwa kemajuan Jemaat bergantung pada keduanya.

“Keteraturan dan Ketertiban”. Walaupun beberapa pengertian dapat di peroleh dari sumber-sumber lain, namun kita harus mengarahkan perhatian lagi pada surat-surat Paulus untuk memperoleh pengetahuan tentang keteraturan dan ketertiban orang-orang kristen mula-mula. Kita telah memperhatikan bahwa Paulus menetapkan perlunya kesopanan dan keteraturan ( 1 Kor 14:40 ), yang mencakup seluruh aktivitas jemaat. Haruslah terdapat ciri-ciri mulia dalam pengelolaan urusan jemaat. Dalam beberapa peristiwa Paulus memberikan petunjuk-petunjuk, yang kemudian di terima sebagai prinsip-prinsip penuntun. Hal ini khususnya jelas dalam surat I Korintus, I dan II dan Tesalonika dan surat-surat pengembalaan. Meskipun demikian, pendekatan paulus tidak legalis. Dalam masalah mengenai orang yang berjinah dengan orang yang mempunyai hubungan keluarga dekat, Paulu mengharapkan agar diambil tindakan disipliner (1 Kor.5:5) dan hal ini harus dilakukan oleh seluruh anggota Jemaat. Pada pihak lain, Jemaat yang sama ini diperingatkan untuk tidak menghancurkan orang yang bersalah dengan mengambil tindakan disiplin yang yang terlalu berat (2 Kor.2:5 dst). perhatian yang sama untuk keteraturan dan ketertiban dalam surat-surat Penggembalaan (bnd. 1 Tim.1:20; 2:1-7; 4:11-16; Tit.2:1-3). Nasihat ini telah disusun dalam bentuk yang lebih teratur, karena nasehat tersebut disampaikan kepada rekan-rekan kerja yang dekat, tetapi kita tidaka dapat memisahkan antara surat-surat Paulus yang mula-mula dan surat-surat Penggembalaan sehubungan dengan masalah ketertiban Jemaat.
Kita harus membahas bentuk penghukuman yang diputuskan oleh Paulus sehubungan dengan masalah orang yang berzinah dengan orang yang mempunyai hubungan keluarga dekat. Orang yang bersangkutan harus diserahkan kepada iblis “sehingga binasa tubuhnya, agar rohnya diselamatkan pada hari Tuhan” (1 Kor.5:5). Nampaknya yang dimaksudkan disini ialah semacam bentuk pengucilan dari Jemaat, sekurang-kurangnya bersifat sementara. Mungkin yang dimaksud dengan “binasa tubuhnya” ialah semacam penderitaan secara fisik yang dapat mengakibatkan perubahan kehidupan rohani (bnd. juga 1 Kor 11:30). Gagasan tentang tindakan disipliner dalam Jemaat Kristen ini sejalan dengan pengajaran Yesus dalam Matius 18. orang-orang yang mempunyai perbuatan atau sikap yang berlawanan dengan tujuan jemaat yang benar tidak dapat dibiarkan (bnd. 1 Tim 1:20; Tit 3:10-11). Paulus menganjurkan tindakan yang keras bila hal yang tidak murni atau ajaran yang sesat meruntuhkan kedudukan Jemaat.
Sehubungan dengan apa yang baru dikatakan mengenai wewenang, jelas bahwa terdapat cukup banyak sanksi untuk melaksanakan ketertiban. Ada batasan tertentu. Karunia nabi takluk kepada nabi-nabi (1 Kor.14:29-32). Tidak ada tempat untuk bertindak sendiri. Paulus tidak memperbolehkan orang-orang yang baru bertobat melupakan bahwa semua orang bertanggung jawab kepada Kristus. Menurut Paulus Jemaat yang erat terjalin “di dalam Kristus” ini harus mengingat, bahwa satu bagian tidak dapat bertindak tanpa mempengaruhi keseluruhan tubuh. Karena itu ketertiban diperlukan untuk menjamin adanya pengelolahan yang sehat dari keseluruhan tubuh.
Tidak banyak dikatakan dalam surat-surat Paulus tentang cara pentahbisan, kecuali dalam surat-surat Penggembalaan. Timotius diingatkan akan “pentahbisan” terhadap dirinya, jika inilah penafsiran yang benar dari “karunia” yang diterimanya melalui penumpangan tangan ( 2 Tim.1:6). Menurut I Tim.4:14 Penumpangan tangan dilakukan oleh penatua-penatua, dan karunia diberikan “oleh nubuat”. Penting bahwa dalam I Tim.4:14 Paulus tidak mengatakan bahwa ia sendiri turut mengambil bagian dalam hal ini, walaupun ia melakukannya dalam 2 Tim.1:6 hal itu menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan dikhususkan untuk tugas khusus dihadapan anggota-anggota Jemaat melalui wakil-wakilnya (bnd. Penugasan Paulus dan Barnabas dalam Kis.13:1-3, yang disertai dengan penumpangan tangan). Penumpangan tangan tidak menganugerahkan wewenang jabatan seperti yang dipertahankan oleh beberapa orang yang menyatakan bahwa jabatan dalam jemaat tetap diwariskan secara terus-menerus dari para rasul sampai saat ini.
4. Peranan Perempuan dalam Jemaat.
Pengajaran utama mengenai kedudukan perempuan dalam jemaat PB terdapat dalam surat-surat Paulus. Pendekatan Paulus pada masalah ini telah menimbulkan perdebatan yang serius. Sebagai langkah awal, perlu diperhatikan bahwa pada zaman itu perempuan hampir selalu dianggap lebih rendah daripada laki-laki, khususnya dalam dunia Yahudi yang dikuasai sepenuhnya oleh laki-laki. Di beberapa tempat dalam lingkungan orang-orang bukan Yahudi, seperti Makedonia, perempuan-perempuan diberi hak yang lebih luas, tetapi dalam dunia orang-orang penyembah berhala secara keseluruhan tidak terdapat gagasan kesamaan hak bagi laki-laki dan perempuan. Disamping itu tidak ada pendidikan untuk anak-anak perempuan Yahudi dan diantara anak-anak perempuan dari bangsa-bangsa lain pun pendidikan tidak menyebar secara meluas. Di dalam suasana yang berorientasi pada kaum laki-laki seperti inilah Jemaat-jemaat Kristen berkembang.
Pernyataan Paulus yang tegas dalam Gal.3:28 bahwa di dalam Kristus “tidak ada laki-laki atau perempuan” merupakan suatu pandangan yang revolusioner, karena bertentangan dengan keyakinan zaman itu yang menempatkan kaum laki-laki sebagai kaum yang lebih unggul. Pernyataan ini tidak berlaku hanya dalam hubungan dengan keselamatan, seolah-olah prinsip keunggulan laki-laki masih diterapkan dalam bidang-bidang lain kecuali dalam hal keselamatan itu. Penyataan ini harus dipahami dengan cara yang sama dengan penghapusan perlawanan-perlawanan lain disebutkan dalam ayat itu. Ketegangan antara orang-orang Yahudi dan orang-orang bukan Yahudi,atau antara hamba dan orang merdeka, tidak akan pernah dibereskan jika kesamaan hanya dimaksudkan dalam pengertian rohani saja. Keadaan “di dalam Kristus” sesungguhnya mempengaruhi semua hubungan kemanusiaan yang lain. Tidak diragukan bahwa Paulus melihat bahwa melalui Injil Kristen, prasangka-prasangka yang telah mendarah daging dihancurkan. Jika semua satu di dalam Yesus Kristus, seperti yang ditegaskannya, haruslah berarti bahwa prasangka-prasangka yang lalu itu tidak lagi dibawa dalam Jemaat Kristen. Pernytaan Paulus dalam Gal.3:28 haruslah dititikberatkan, supaya pengajarannya mengenai kedudukan perempuan dihargai. Memang ayat itu harus dianggap sebagai kunci untu memahami pernyataan-pernyataannya yang lain. Harus diakui bahwa diantaranya, pada pengamatang sepintas lalu, tampak pernyataan yang bertentangan dengan emansipasi perempuan.
Dalam Jemaat Kristen, perempuan-perempuan mempunyai status yang sama dengan laki-laki, dengan pengertian bahwa semua orang diterima atas dasar pekerjaan Kristus yang sama bagi kepentingan mereka. Laki-laki tidak dapat menuntut hak yang lebih dari perempuan. Prinsip kesamaan bagi perempuan ini sama sekali bertentangan dengan siatuasi di lingkungan orang-orang Yahudi atau pun orang-orang penyembah berhala, dan tidaklah mengherankan bahw persoalan muncul pada waktu proses penyesuaian ini mulai diterapkan. Tidak disangsikan bahwa beberapa perempuan Kristen bertindak di luar batas dan cenderung untuk menyalahgunakan kebebasan mereka. Paulus merasa perlu untuk mengemukakan beberapa batasan tertentu untuk menjaga kesopanan dan keteraturan dalam Jemaat, khususnya dalam ibadat.
Ada dua macam pokok yang termasuk dalam nasihatnya: yang pertama berhubungan dengan perempuan-perempuan yang berbicara di dalam Jemaat, yang kedua berkaitan dengan masalah wewenang. Dalam I Kor.14:34-35 ia mengingatkan bahwa perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan Jemaat, tetapi terjadi banyak perdebatan mengenai apa yang dimaksudkan dengan perkataannya itu. Ia memerintahkan untuk tunduk, tetapi ia tidak menentukan kepada siapa perempuan-perempuan harus tunduk. Karena pernyataan ini diikuti dengan pernyataan lain yang mengingatkan perempuan-perempuan untuk bertanya kepada suami mereka di rumah, maka ayat ini pernah ditafsirkan sebagai suatu nasihat untuk tunduk kepada para suami. Tetapi yang dimaksud dengan tunduk disini dapat dihubungkan dengan pengajaran, atau dengan masalah mengritik laki-laki (mengingat ayat 29b), atau dengan keteraturan ibadat. Disamping itu, pernyataan-pernyataan dalam ayat 34 dan 35 pernah dianggap sebagai pandangan-pandangan dari kelompok tertentu dalam Jemaat, bukan pandangan Paulus sendiri. Apa pun pemecahan masalah ini, yang menjadi pokok dari keseluruhan konteks yang memuat perkataan ini ialah perlunya ibadat yang teratur. Paulus tidak mentolerir hal-hal apa pun yang mengurangi keteraturan ibadat Kristen, dan jika sikap beberapa perempuan tertentu mengakibatkan keadaan ibadat menjadi tidak teratur, maka dapatlah dipahami bahwa ia menyuruh mereka untuk diam. Tetapi tidak dapat dipastikan bahwa ia mengucapkan suatu prinsip yang harus diterapkan dalam semua keadaan.
Pada saat I Kor.14:34-35 dibicarakan, kita harus mengingat bahwa perempuan-perempuan diizinkan untuk berdoa dan bernubuat dengan hak yang sama dengan laki-laki. I Kor.11:5 nampaknya berbeda dengan perintah bahwa perempuan harus diam, tetapi tidaklah dapat menganggap bahwa Paulus dalam satu surat (kepada orang-orang di Korintus) akan membantah dirinya. Tentunya mungkin untuk berpendapat bahwa perempuan-perempuan hanya dapat berdoa dan beribadat dalam rumah mereka sendiri, anggapan ini tidak bertentangan dengan I Kor.14:34-35. Namun, pembahasan mengenai rambut perempuan dan tentang pemakaian tudung kepala tidak ada artinya jika doa dan nubuat hanya dilakukan bukan di depan Jemaat. Mengingat hal ini, maka beberapa orang telah menyimpulkan bahwa kedua ayat tersebut tidak dapat diselesaikan. Lebih baik untuk menganggap bahwa perbedaan yang diibuat Paulus antar peranan laki-laki dan perempuan dalam ibadat di Korintus hanya diterapkan jika perempuan-perempuan di situ melewati
batas-batas keteraturan yang baik.
Dalam perikop kedua yang berkaitan dengan masalah ini, yaitu I Tim.2:11-15, persoalannya berbeda. Paulus menasehati perempuan-perempuan untuk belajar berdiam diri dan untuk menahan diri dari memerintah laki-laki. Dalam perikop tersebut sikap tunduk tidak disebut secara khas, namun PL dikutip untuk menunjukkan bahwa Hawa lebih bersalah daripada Adam, yang di dalamnya mungkin tercakup unsur sikap tunduk. Mengenai perikop dari PL itu, dapat dikatakan bahwa kejadian 1 dan 2 tidak mengharuskan perempuan untuk tunduk kepada laki-laki, karena laki-lakilah yang harus meninggalkan keluarganya untuk bersatu dengan isterinya, bukan sebaliknya. Walaupun demikian, pemahaman Paulus sendiri tentang pengajaran hukum Taurat tentunya mencakup beberapa maksud mengenai sikap tunduk.
Persoalan utama ialah untuk menentukan pemerintahan yang bagaimana yang dimaksudkan Paulus dalam I Tim.2:12. Hal itu dapat dimengerti dalam hubungan pernikahan, tetapi konteks di sekitar ayat itu menyarankan suatu penerapan yang lebih umum. Oleh karena yang menjadi pusat perhatian utama ialah hal mengajar, maka nampaknya paling baik untuk menghubungkan pemerintahan (wewenang) tersebut dengan hal mengajar. Dengan demikian yang dimaksudkan ialah bahwa seorang perempuan tidak diberikan hak untuk mengajar laki-laki dengan cara memerintah (secara berwibawa). Bukanlah tidak mungkin bahwa hal ini harus dipahami dengan latar belakang kisah Adam dan Hawa, sebab dalam peristiwa itu Adam membiarkan dirinya diperintah oleh Hawa dalam hal yang salah, sehingga ia tertipu. Pernyataan Paulus itu tidak boleh berarti bahwa perempuan mempunyai sifat mudah ditipu, atau pun dengan maksud untuk membebaskan Adam dari tanggung jawab pelanggarannya sendiri.
Dalam surat-surat Penggembalaan, perempuan-perempuan diizinkan untuk meng -
ajar anak-anak dan perempuan-perempuan lain (2 Tim 1:5; 3:14-15; Tit 2:3-4), hal ini memperjelas bahwa Paulus tidak berpendapat bahwa karena sifat yang dimilikinya maka perempuan-perempuan sama sekali tidak boleh mengajar. Lagi pula, kisah tentang Hawa yang diperdaya digunakan dalam 2 Kor.11:3 sebagai kesejajaran bagi siapa saja (laki-laki maupun perempuan) yang disesatkan dari kesetiaan yang sejati pada Kristus. Mengingat ada beberapa perempuan di antara rekan sekerja Paulus, termasuk Priskila yang telah turut ambil bagian dalam mengajar seorang laki-laki (Apolos), maka hampir tidak mungkin bahwa ia memaksudkan suatu larangan yang bersifat mutlak dalam perkataannya kepada Timotius. Lebih mungkin bahwa ia memberikan larangan ini berdasarkan situasi yang khusus di Efesus, dan mungkin beberapa perempuan di sana terbukti mudah tertipu dalam menghadapi ajaran sesat.
Menarik untuk dibahas apakah Paulus mengizinkan perempuan untuk mengambil bagian dalam pelayanan Kristen. Kita telah memperhatikan bahwa I Tim.3 :11 dapat ditujukan kepada perempuan-perempuan yang melayani sebagai diaken, walaupun beberapa orang menafsirkan bahwa ayat ini ditujukan kepada istri-istri diaken. Jika yang dimaksudkan ialah diaken-diaken maka tidaklah perlu menduga bahwa yang dipikirkan ialah suatu jabatan, hanya bahwa perempuan-perempuan yang melakukan pekerjaan seorang diaken harus memenuhi kualitas-kualitas tertentu yang ditetapkan. Febe, yang melayani jemaat di Kengkrea, digambarkan oleh Paulus sebagai “seorang diaken” (Rm 16:1); perlu diperhatikan bahwa dalam PB tidak ada bentuk feminin untuk kata diaken tersebut.
Telah disebutkan diatas bahwa dalam jemaat di Korintus terdapat perempuan-perempuan yang bernubuat dan berdoa. Ada beberapa perempuan yang memiliki kemampuan di Filipi, seperti Lidia (lihat Kis 16) dan Euodia dan Sintikhe (Flp 4:2). Disamping itu, janda-janda yang lebih tua di Efesus didaftarkan bukan hanya untuk menerima bantuan keuangan tetapi juga untuk mengambil bagian dalam pelayanan (1.Tim.5:9-10). Semua bukti ini memberikan kesan bahwa Paulus melihat pekerjaan dari perempuan-perempuan Kristen sangat diperlukan di dalam jemaat Kristen. Meskipun demikian tidak ada kesan bahwa ia mengakui bahwa seorang perempua memegang suatu posisi kewenangan tertentu.
Segi lain dari perubahan secara radikal dalam status perempuan yang timbul sebagai akibat kedatangan Kristus adalah hal yang berhubungan dengan pernikahan. Kita telah memperhatikan bahwa Paulus menggunakan kiasan mempelai perempuan untuk melambangkan Jemaat, kiasan tersebut menggambarkan penghargaan Paulus yang tinggi terhadap keatuan seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Haruslah diakui bahwa kiasan tersebut memberikan kepada perempuan yang sudah menikah suatu kedudukan dalam Jemaat yang berbeda secara mendasar dengan kedudukan para perempuan pada masa itu.
Di luar Jemaat dia tidak memiliki hak apa pun, tetapi “di dalam Kristus” dia merupakan seseorang yang sangat diperlukan oleh suaminya dan tanpa perempuan seorang laki-laki tidaklah lengkap. Keduanya menjadi satu daging, seperti Allah maksudkan. Paulus tidak memberikan pengajaran yang khusus mengenai peranan perempuan yang tidak menikah, walaupun secara jelas ia memandang bahwa keadaan tidak menikah itu bermanfaat dalam siatuasi-situasi tertentu.
Penyelidikan diatas menunjukkan bahwa Paulus sama sekali bukanlah seorang pembenci kaum perempuan, walaupun kadang-kadang ia dianggap mempunyai sikap ini. Sebaliknya, ia mengerti secara luar biasa bahwa kuasa Injil yang memerdekakan akan mengubah kedudukan perempuan yang bersifat rendah pada zamannya. Ia melihat bahwa Jemaat Kristen harus merupakan perintis yang mengangkat martabat kaum perempuan.
5. Sakramen
Pendekatan Paulus pada sakramen-sakramen haruslah dipertimbangkan berdasarkan latar belakang ibadah yang bersifat umum ini. Pertama-tama kita akan membahas baptisan dan kemudian perjamuan kudus.

“Baptisan”. Terdapat banyak bukti yang memperlihatkan bahwa Paulus melanjutkan kebiasaan-kebiasaan upacara yang telah “diteruskan” kepadanya. Hal ini tentunya benar dalam hal upacara Perjamuan Kudus (1 Kor.11:23) dan nampaknya tidak ada alasan untuk menduga adanya perbedaan tentang hal baptisan. Dalam I Kor.1:13,14 (bnd, juga 1 Kor.6:11) terlihat dengan jelas bahwa ia sendiri yang telah melaksanakan upacara itu di Korintus, tetapi ia tidak menyangkal bahwa baptisan itu penting. Pada waktu ia mengatakan bahwa Kristus tidak mengutusnya untuk membaptis tetapi untuk memberitakan Injil (1 Kor.1:17), ia ingin melawan pandangan yang bersifat takhayul dari upacara itu yang dipegang oleh beberapa kelompok tertentu. Mereka menganggap bahwa upacara itu memiliki nilai yang lebih tinggi daripada pemahaman akan isi Injil yang berpusat pada salib Kristus.
Penjelasan Paulus sendiri mengenai sakramen-sakramen membuktikan bahwa siapa pun yang menuduh dia memberikan arti yang bersifat magis pada upacara-upacara, telah berdusta. Dalam I Kor.12:13, ia menggangap baptisan sebagai cara untuk mulai masuk ke dalam satu tubuh, yaitu perhimpunan umat Kristen. Ia memberikan arti rohani yang khusus pada upacara baptisan dengan menyatakan secara tegas bahwa baptisan dikerjakan oleh Roh Kudus. Pembaptisan tidak dibatasi pada golongan orang-orang tertentu (Gal.3:27-28). Tidak ada perbedaan bangsa (Yahudi atau Yunani), jenis kelamin (laki-laki atau perempuan) atau kedudukan sosial (hamba atau orang merdeka). Semuanya dipandang sudah “dibaptiskan ke dalam Kristus” dan sebagai hasilnya mereka telah “mengenakan Kristus”, suatu istilah yang disukai Paulus (Rm.13:14; Ef.4:24; Kol.3:10). Dalam Ef. 4:5 Paulus menggunakan ungkapan “satu baptisan”, yang tidak hanya menarik perhatian pada penerimaan umum dari gagasan kesatuan, tetapi juga pada kenyataan bahwa kesatuan
dipusatkan pada satu Tuhan.
Pemikiran Paulus yang paling dalam tentang baptisan dikemukakan dalam Rom. 6:1-4. Pada dasarnya baptisan dihubungkan dengan kematian dan kebangkitan, dan bukan dengan penyucian. Baptisan menandakan hal dikuburkan bersama dengan Kristus dalam kematian-Nya (Rm.6:4). Tetapi baptisan juga berarti kehidupan yang baru, turut berserta Kristus dalam kehidupan setelah kebangkitan-Nya. Baptisan menunjukkan peralihan yang terjadi dari kematian menuju kehidupan.
Paulus melanjutkan dengan menguraikan arti perubahan itu, khususnya dalam hubungan dengan kematian manusia lama. Ia dengan jelas melihat arti teologis dari upacara baptisan. Tetapi timbul pertanyaan yang kritis mengenai saat terjadinya perubahan yang hebat itu. Apakah hal itu terjadi pada waktu baptisan? Atau sebelum baptisan, yang berarti bahwa tata ibadah baptisan berperan untuk menunjukkan kepada umum sesuatu yang telah terjadi? Masalah ini telah diperdebatkan dengan serius. Kebanyakan ahli-ahli teologi menyetujui bahwa Paulus tidak mempunyai pandangan bahwa baptisan dapat dianggap sah tanpa iman.
Masalah ini penting untuk menafsirkan pandangan Paulus tentang baptisan dan juga pandangannya mengenai keanggotaan Jemaat. Walaupun pandangan mengenai baptisan yang betul-betul bersifat mekanis harus dibuang dan dianggap asing bagi pemikiran Paulus, namun hal ini tidak berarti bahwa ia tidak melihat di dalamnya suatu cara untuk mencapai tujuan. Secara dramatis baptisan memperlihatkan kematian dan kebangkitan Yesus, dan masing-masing calon yang akan dibaptis harus menyamakan dirinya dengan pengalaman ini. Karena itu, upacara baptisan merupakan tanda yang memeteraikan iman itu yang telah membawa calon tersebut untuk menerimanya. Tentunya harus diakui bahwa bagi Paulus dan orang-orang Kristen mula-mula lainnya, pertobatan dan baptisan dianggap sebagai satu peristiwa. Tidak terdapat kesan dalam tulisan-tulisan Paulus bahwa orang-orang lain, selain mereka yang telah bertobat, boleh dibaptiskan.
Perlunya iman pada saat dibaptis diterangkan dalam Kol.2:12; “dengan Dia kamu dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati”. Tanpa iman, upacara baptisan tidak akan ada artinya.
Ada dua ayat lain yang perlu disebutkan. Dalam Tit.3:5 “permandian kelahiran kembali” mungkin mengarah pada baptisan. Tetapi karena kata “baptisan” tidak dipakai, maka tidak sehat untuk memperlihatkan adanya hubungan langsung antara upacara baptisan dengan pengalaman kelahiran baru, mengingat bahwa dalam Rom.6:1-4 (seperti yang dicatat di atas) baptisan tidak dipandang sebagai penyucian. Demikian juga Ef.5:26) tidak dapat dianggap mendukung pandangan yang sama (bahwa kelahiran kembali terjadi pada saat pembaptisan) karena penyucian dihubungkan secara langsung dengan penyerahan diri Kristus bagi Jemaat-Nya, bukan pada suatu upacara penyucian (bnd. juga 1 Kor.6:11).
Salah satu hal yang menyertai baptisan dalam pengajaran Paulus ialah tantangan untuk memulai cara hidup yang baru. Kiasan tentang menanggalkan dan mengenakan ditekankan dalam Surat Kolose khususnya dalam kerangka baptisan (bnd. Kol.2:12 dengan 3:5,8,10,12). Jelaslah, jenis bahasa yang digunakan di sini, bahwa upacara baptisan dimaksudkan untuk membangkitkan perubahan moral yang nyata melibatkan baik larangan maupun ajakan bagi setiap orang percaya. Gambaran tentang menanggalkan/ mengenakan mungkin diambil dari hal bahwa calon-calon yang akan dibaptis, melepaskan pakaian mereka sebelumnya dan kemudian mengenakan pakaian kembali sesudah upacara baptisan. Tetapi kehidupan baru menuntut norma-norma yang sama sekali baru. Upacara baptisan dapat juga merupakan alat pengajaran yang sangat berharga, karena calon-calon yang
dibaptis diajak untuk menghayati arti simbolis yang terkandung di dalamnya.

“Perjamuan Kudus”. Pembahasan tentang Perjamuan Kudus dimasukkan ke dalam Surat I Korintus hanya karena terjadi penyimpangan dari aturan sakramen yang seharusnya, dan terlepas dari masalah itu sesungguhnya kita tidak akan mengetahui ajaran Paulus mengenai upacara ini. Hal ini memperlihatkan bahwa ajaran-ajaran positif yang penting sering diperkenalkan dalam PB secara hampir kebetulan saja. Banyak ajaran yang diuraikan dengan latar belakang ajaran atau pelaksanaan tata cara yang salah. Tetapi hal ini tidak mengurangi pentingnya uraian Paulus dalam Surat I Korintus mengenai Perjamuan Kudus, karena surat-suratnya yang lain tidak membicarakan pokok ini. Kita harus mengucap syukur bahwa Paulus telah menjelaskan pemikirannya bagi kita.
Pertama-tama kita perhatikan bahwa Paulus tidak memberikan pandangan yang baru sehubungan dengan Perjamuan Kudus. Apa yang ia “teruskan” kepada jemaat di Korintus, yaitu apa yang telah ia “terima” sendiri (1 Kor.11:23). Perkataan “aku terima dari Tuhan”, pasti tidak berarti bahwa ia telah menerima tradisi-tradisi itu melalui orang-orang lain, tetapi ia mengakuinya sebagai pernyataan-pernyataan yang otentik tentang apa yang telah diadakan oleh Tuhan sendiri. Yang paling penting ialah untuk memperoleh pengertian yang benar mengenai ajarannya ini, karena langsung meniadakan pandangan bahwa Paulus telah menambahkan gagasannya sendiri pada pelaksanaan Perjamuan Kudus yang semula, atau bahwa ia berutang budi pada cara-cara yang diambilnya dari agama-agama misteri Yunani. Dalam Surat I Korintus ia berusaha untuk mengemukakan tradisi Perjamuan Kudus secara terinci, sehingga hal itu dapat terlihat sesuai dengan bentuk-bentuk yang biasa dilakukan di dalam Jemaat. Walaupun terdapat beberapa perbedaan antara catatan Paulus dengan catatan yang terdapat pada kitab-kitab. Injil Sinoptik, namun kesepakatan tulisan-tulisan itu menunjukkan bahwa tradisi itu tetap dipegang secara konsisten, dan juga memperlihatkan bahwa Paulus meneruskan apa yang telah ditetapkan sebagai upacara yang biasa.
Dalam catatan-catatan tambahan dan ulasan-ulasan yang lebih lanjut dari Paulus sendiri, pengajarannya yang khusus menjadi nyata. Kita perhatikan pertimbangan-pertimbangan yang berikut. Pertama-tama, Paulus menepatkan Perjamuan Kudus dalam konteks suatu persekutuan di meja makan. Pada tingkat ini kedua peristiwa itu tidak dipisahkan satu dari yang lain, tetapi dalam jemaat di Korintus hal ini telah disalahgunakan. Penting untuk dicatat bahwa gagasan persekutuan (koinonia) memainkan peranan yang penting dalam kehidupan orang-orang Kristen mula-mula. Karena alasan inilai Paulus mengartikan Perjamuan Kudus dalam pengertian persekutuan (sharing) : ia berkata bahwa roti yang dipecah-pecahkan adalah persekutuan (koinonia) dalam tubuh Kristus, demikian juga cawan pengucapan syukur adalah persekutuan dalam darah Kristus (1 Kor 10:16).
Karena itu, Perjamuan Kudus berarti mengambil bagian dalam pengorbanan Kristus. Seperti dalam perayaan Paskah orang-orang Yahudi menghayati lagi peristiwa keluarnya bangsa Israel dari tanah Mesir, demikian juga orang-orang Kristen yang ikut serta dalam pengorbanan Kristus secara simbolis mempersatukan diri mereka dengan pengorbanan itu. Hal ini tidak boleh diartikan seolah-olah dipisahkan dari kenyataan, karena hal itu hanya mempunyai arti sebagai tanda atau lambang yang diberikan oleh Kristus sendiri pada waktu orang mengambil bagian dalam Perjamuan ini. Mengambil bagian di dalam darah dan tubuh Kristus bukanlah hanya mengambil bagian dalam unsur-unsur kebutuhan jasmani saja, tetapi merupakan suatu pengalaman bersama dengan Kristus yang telah dikorbankan itu. Persekutuan (koinonia) ini mempunyai arti teologis yang dalam. Orang-orang yang ikut serta dalam Perjamuan Kudus juga menyerahkan diri mereka untuk masuk ke dalam misi Kristus. Karena alasan ini maka Paulus menjelaskan bahwa tidak mungkin bagi orang-orang untuk mengambil bagian dalam perjamuan Tuhan dan juga mengambil bagian dalam perjamuan roh-roh jahat dengan menyembah kepada berhala (1 Kor.10:21). Keikutsertaan dalam perjamuan Tuhan tidak bersifat formalitas, tetapi melibatkan keseluruhan pribadi orang yang mengikutinya. Perjamuan Kudus merupakan tolak ukur untuk melihat kesetiaan seseorang yang sesungguhnya. Tidak ada tempat untuk berkompromi. Orang-orang yang mengambil bagian dalam kematian Kristus dikucilkan dari persekutuan apa pun yang membahayakan posisi mereka “di dalam Kristus”.
Jelaslah bahwa persekutuan orang-orang Kristen mencakup semua orang yag mengambil bagian dalam Kristus dan karena itu dipersatukan di dalam satu tubuh. Inilah yang dimaksudkan Paulus dengan kiasan satu-roti/ satu-tubuh yang dikemukakannya dalam 1 Kor.10:17. Menurut Paulus, dalam Perjamuan Kudus sudah terkandung suatu dasar teologis untuk kesatuan. Sayang sekali jemaat modern tidak mampu menghayati pengajaran Paulus, sehingga seringkali Perjamuan Kudus menjadi penyebab perpecahan. Paulus tidak akan menerima definisi apa pun tentang “tubuh” yang tidak didasarkan pada pengakuan Kristen yang dibuktikan oleh tindakan yang cocok. Barangsiapa yang makan dan minum “tanpa mengakui tubuh Tuhan” (1 Kor.11:29) dihukum dan rupanya hal ini ditujukan kepada mereka yang tidak memelihara kesucian tubuh. Dalam surat ini terdapat peringatan yang keras supaya jangan memiliki ikatan apa pun dengan orang-orang yang tidak senonoh. Dapat dikatakan bahwa Paulus memiliki pendekatan yang dinamis pada Perjamuan Kudus.
Keikutsertaan di dalamnya mempunyai dampak yang praktis.
Segi persekutuan dari Sakramen ini juga dipengaruhi oleh sikap jemaat di Korintus yang salah pada waktu berkumpul untuk makan bersama-sama. Jika beberapa orang makan sampai kenyang dan yang lain merasa lapar, maka sekali lagi kesatuan “tubuh” telah dilanggar. Perjamuan Kudus tidak pernah dimaksudkan untuk memperlihatkan perbedaan gaya hidup, dan Paulus dengan tegas mengatakan bahwa jika seseorang lapar ia harus makan dulu di rumah. Dengan demikian arti rohani dari sakramen dapat dipertahankan (bnd. 1 Kor.11:17 dst). Perintah Paulus ini memperlihatkan tingginya nilai yang ia tanamkan untuk mempertahankan martabat Perjamuan Kudus.
Segi lain dari ajaran Paulus didasarkan pada kata-kata yang dipertahankannya secara khusus, yang menunjukkan Perjamuan Kudus sebagai suatu peringatan. Makan dan minum keduanya dikatakan sebagai “peringatan akan Aku” (1 Kor 11:24-25). Dalam liturgi perayaan Paskah orang-orang Yahudi, masing-masing kepala rumah tangga menceritakan sejarah dari peristiwa nasional yang lalu untuk mengingatkan setiap orang yang ikut serta dalam perayaan Paskah itu bahwa mereka masing-masing terlibat dalam kesinambungan dengan peristiwa-peristiwa tersebut. Mungkin hal yang sama dengan ini diperhatikan dalam sakramen Kristen, yang memaksakan orang-orang yang ikut serta dalam Perjamuan Kudus untuk mengingat lagi kematian Kristus, bukan hanya sebagai suatu fakta yang terjadi pada masa lampau, tetapi sebagai realitas pada masa sekarang. Hal ini dilakukan bukan dengan menganggap bahwa Yesus Kristus hadir secara nyata dalam roti dan anggur, seperti yang dinyatakan kemudian oleh suatu aliran ajaran ekaristi, tetapi dengan maksud agar masing-masing peserta dihadapkan sekali lagi dengan kematian Kristus, baik harga yang dibayarnya maupun apa yang telah dicapainya.
Segi peringatan yang terdapat di dalam upacara Perjamuan Kudus ini juga menca -
kup pemberitaan (1 Kor.11:26). Ini bukan berarti membuat kembali peristiwa yang lampau, tetapi memberitakan peristiwa yang bersejarah itu yang merupakan pusat iman Kristen. Peringatan ini bukan hanya dimaksudkan untuk menaruh perhatian pada kejadian masa lampau agar tetap menghidupkan apa yang sudah lama mati, karena bukan kehidupan Kristus yang diperingati, tetapi kematian-Nya. Kematian yang memiliki arti yang unik karena menyelamatkan. Diatur sedemikian rupa sehinga tidak akan ada kesempatan bagi kematian itu untuk dilenyapkan dari pandangan.
Haruslah juga diperhatikan bahwa terdapat segi masa yang akan datang dalam catatan Paulus tentang Perjamuan Kudus. Ucapan “sampai Ia datang” meperlihatkan bahwa sakramen ini hanya berkaitan dengan masa sekarang. Pada waktu Kristus kembali hal itu tidak diperlukan lagi. Kehadiran-Nya yang nyata akan membuat “peringatan” menjadi tidak perlu lagi.
Nilai dari sumbangan Paulus pada pemahaman akan Perjamuan Kudus tidak dapat dipandang secara berlebih-lebihan. Ia tidak mengemukakan pandangan yang baru, tetapi ia membukakan suatu pandangan yang dalam mengenai arti teologis dari sakramen yang diturunkan orang-orang lain, dan yang berasal dari Yesus sendiri.

6. Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR).
Dunia zaman sekarang kembali memerlukan suatu kebangunan rohani. Ini merupakan harapan satu-satunya bagi kelangsungan hidup umat manusia. Ditengah-tengah masalah-masalah yang luas yang dihadapi dunia kita, orang Kristen berdiam diri dan tidak berdaya, hampir diliputi oleh pasang surutnya keduniaan. Padahal orang Kristen dipanggil untuk menjadi “garam dunia” (Mat.5:13), untuk mencegah dunia yang sedang membusuk ke dalam kecurangan yang lebih jauh. Orang Kristen seharusnya menjadi “terang dunia”. (Mat.5:14), menerangi kegelapan yang disebabkan dosa dan memberikan bimbingan kepada suatu dunia yang telah sesat. Kita dipanggil untuk menjadi “anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia” (Fil.2:15). Mengapa kita tidak menjadi “garam” dan “terang” sebagaimana mestinya? Mengapa kita tidak berbuat lebih banyak lagi untuk membawa Kerajaan Allah kepada hati dan kehidupan manusia?
Memang ada banyak orang Kristen sebagai contoh yang telah disentuh oleh Allah, dan sedang mendapat giliran untuk menyentuh kehidupan orang lain bagi Kristus. Tetapi bagi setiap contoh itu, ada lebih banyak orang Kristen yang hidupnya penuh dengan kekalahan; hidup tanpa sukacita. Orang-orang ini tidak ada kemenangan atas dosa dan kesaksiannya tidak efektif. Pengaruh mereka atas orang di sekitar mereka demi Injil sangat sedikit.
Jika memang keperluan yang terbesar dari dunia kita ini adalah untuk merasakan efek dari kebangunan rohani, maka keperluan terbesar bagi gereja Kristen di seluruh dunia sekarang ini adalah mengalami sentuhan Roh Kudus. Roh Kuduslah yang dapat membawa “kebangkitan” dan “pembaharuan” kepada kehidupan orang Kristen yang tak terhitung jumlahnya.
Beberapa abad yang lalu Allah memberi penglihatan yang luar biasa kepada Nabi Yehezkiel. Dalam penglihatan itu Ia melihat bangsa Israel tersebar di antara bangsa-bangsa. Tulang-tulang Israel digambarkan seperti tulang-tulang kering berserakan. Semua harapan bagi hari depan nampaknya lenyap. Berkenaan dengan kata-kata nabi, bangsa Israel, dilihat dari segi dunia, sebaliknya dikubur. Namun, Yehezkiel tertegun pada waktu Allah bertanya: “Dapatkah tulang-tulang ini dihidupkan kembali?” (Yeh.37:3). Nabi itu menjawab demikian, “Engkaulah yang mengetahui.” Kemudian ia diperintah untuk mengatakan Firman Allah dan tulang-tulang itu berdiri menjadi segerombolan manusia yang terbungkus daging. Tetapi mereka belum berdaya. Mereka masih kurang roh atau nafas. Kemudian Roh Allah memberi mereka nafas dan mereka menjadi suatu tentara yang besar.
Sekali lagi kita berhadapan dengan masa yang gelap dalam sejarah umat Allah. Walaupun ada tanda-tanda yang menggembirakanm, tetapi kekuatan jahat kelihatannya berkumpul untuk suatu serangan yang hebat atas pekerjaan Allah dalam dunia. Iblis telah melepaskan kuasanya sekarang yang mungkin tidak ada bandingnya dalam sejarah Gereja Kristen. Kalau pernah ada waktu kita memerlukan pembaharuan, inilah saatnya. Hanya Allah dapat menggagalkan Iblis dan pasukannya,s ebab hanya Allah yang Maha Kuasa. Hanya Roh Kudus-Nya yang dapat membawa kebangunan rohani yang benar yang akan menghalang-halangi pasangan kejahatan dan membalikkan arahnya. Dalam saat yang paling gelap Allah masih membangunkan kekuatan baru dan kuasa ke dalam tubuh Kristus.
Dunia kita perlu disentuh oleh orang-orang Kristen yang dipenuhi Roh, dipimpin Roh, dan yang dipenuhi kuasa Roh. Apakah Anda orang Kristen yang demikian? Apakah Anda adalah orang yang memerlukan kebangunan rohani yang murni dalam hidup Anda? Jika demikian, ketahuilah bahwa Roh Kudus ingin membawa pembaharuan itu kepada anda sekarang juga.

6.1. Saat memulai KKR.
Saat untuk pembaharuan rohani adalah sekarang. Jangan kita mengundurkan lagi. Dr. Samuel Johnson mengenakan jam tangan yang bertuliskan kata-kata dari Yoh.9:4, “Akan datang Malam.” Kita orang Kristen harus mengukir di dalam hati kita suatu kebenaran agung yaitu betapa singkat kesempatan kita untuk bersaksi bagi Kristus dan hidup bagiNya. Kita tidak tahu, tak seorang pun, seberapa banyak waktu lagi yang ada bagi kita di bumi ini. Kematian dapat mempersingkat hidup kita. Kristus dapat datang kembali kapan saja.
Dari Kejadian sampai Wahyu mengandung peringatan “Lebih daripada yang Anda kira.” Paulus menulis kepada orang-orang pada zamannya demikian., “Hal ini harus kamu lakukan, karena kamu mengetahui keadaan waktu sekarang, yaitu bahwa saatnya telah tiba bagi kamu untuk bangun dari tidur. Sebab sekarang keselamatan sudah lebih dekat bagi kita daripada waktu kita menjadi percaya. Hari sudah jauh malam, telah hampir siang. Sebab itu marilah kita menanggalkan perbuatan-perbuatan kegelapan dan menanggalkan perlengkapan senjata terang” (Rom. 13:11,12).
Billy Bray, seorang pendeta yang rohani dari generasi yang lalu, pernah duduk di sisi tempat tidur seorang Kristen yang sedang menghadapi kematiannya. Orang itu berani memberikan kesaksiannya bagi Kristus pada masa hidupnya. Orang itu berkata, “Jika saya memiliki tenaga saya ingin bersorak demi kemuliaan Allah.” Billy Bray menjawab, “Sayang sekali Anda tidak meneriakkannya pada waktu Anda memiliki tenaga itu.” Ada berapa banyak dari kita, bila menengok ke belakang dan melihat masa hidup kita harus mengaku kita lewatkan kesempatan dan tidak bersaksi? Kita akan menangis sebab kita tidak mengizinkan Allah menggunakan kita seperti yang Ia kehendaki. “Akan datang
malam, di mana tidak ada seorang pun yang dapat bekerja” (Yoh.9:4).
Jika kita mau menyelidiki Firman Tuhan, jika mau mengambil waktu untuk berdoa, jika kita mau memenangkan jiwa bagi Kristus, jika kita mau menyimpan uang kita bagi kerajaanNya – tentunya waktu itu sekarang. “Jadi, jika segala sesuatu ini akan hancur secara demikian, betapa suci dan salehnya kamu harus hidup yaitu kamu yang menantikan dan mempercepat kedatangan hari Allah. Pada hari itu langit akan binasa dalam api dan unsur-unsur dunia akan hancur karena nyalanya. Tetapi sesuai dengan janji-Nya, kita menantikan langit yang baru dan bumi yang baru, di mana terdapat kebenaran. Sebab itu, saudara-saudaraku yang kekasih, sambil menantikan semuanya ini, kamu harus berusaha, supaya kamu kedapatan tak bercacat dan tak bernoda di hadapanNya, dalam perdamaian dengan Dia” (2 Ptr.3:11-14).

6.2. Berkat yang diterima dari KKR.
Apa yang akan terjadi jika kebangunan rohani memasuki hidup kita dan gereja kita sekarang ini? Saya percaya paling sedikit ada delapan ciri khas bagi pencurahan Roh Kudus yang sedemikian itu.
“Akan ada pandangan baru tentang kebesaran Allah”. Kita harus mengerti bahwa Tuhan tidak saja lembut dan penuh belas kasihan dan keharuan, tetapi Ia juga adalah Allah keadilan, kesucian, dan kemurkaan. Banyak orang Kristen memiliki karikatur tentang Allah. Mereka tidak melihat Allah dalam keseluruhanNya. Kita dengan fasih dapat mengutip Yoh.3:16, tetapi kita lupa mengutip ayat berikutnya, “Barang siapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman” (ay. 18). Perasaan kasihan itu tidak sempurna jika berdiri sendiri, tetapi harus disertai oeh keadilan yang tegas dan hukuman terhadap dosa dan suatu kemauan akan kesucian. Apa yang paling menggerakkan Allah bukanlah penderitaan jasmani tetapi dosa. Terlalu sering kita semua lebih takut kepada kesakitan tubuh daripada kesalahan moral. Salib adalah bukti yang masih tetap bahwa kesucian adalah suatu prinsip yang baginya Allah mau mati. Allah tidak dapat menghapus dosa dari kita yang bersalah sebelum penebusan dibuat. Belas kasihan adalah apa yang kita perlukan
dan itulah yang kita terima di bawah kaki salib.
“Akan ada pandangan baru akan kedahsyatan dosa.”. Yesaya melihat Tuhan di atas sebuah takhta yang tinggi dan ditinggikan. Dan ujung jubahnya memenuhi Bait Suci, dan ia melihat para serafim menunduk dengan hormatnya sambil berseru, “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam seluruh bumi penuh kemuliaanNya” (Yesaya 6:3). Maka kemudian Yesaya merasa bahwa dirinya tidak layak dan ketergantungannya mutlak kepada Allah. Pada waktu Simon Petrus, di atas Laut Galilea, menyadari bahwa itulah Tuhan yang bersama dengan dia di dalam perahu, ia berkata, “Tuhan, pergilah daripadaku, karena aku ini seorang berdosa” (Luk.5:8). Kesadaran akan Yesus itu sebagai Allah sendiri membuat Petrus sadar akan keadaan dosanya sendiri. Di hadapan hadirat Allah, Ayub mengatakan, “…… dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu” (Ayb.42:6).
Jika seseorang dicobai, Yakobus berkata kepada kita, bahwa keinginan orang itu yang akan menyeret, dan sebagai umpan yang memikatnya (Yak.1:14,15). Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut. Hendaklah kita melihat dosa sebagaimana adanya. Seseorang dapat menerima pengertian yang terbesar tentang dosa dengan memandang salib. Jika Yesus Kristus harus mati bagi dosa, maka dosa itu tentunya gelap dan buruk sekali dalam pandangan Allah.
“Akan ada tekanan pada perlunya pertobatan, imam, dan kelahiran baru”. Yesus datang dan mengkhotbahkan pertobatan dan mengatakan bahwa kecuali seorang itu lahir dari atas ia tidak dapat melihat kerajaan Allah. Ia mengatakan bahwa orang berdosa menyukai kegelapan dan tidak mau datang kepada terang sebab takut bahwa perbuatan mereka akan kelihatan dan dihukum. Mereka yang hatinya telah diubah adalah ciptaan baru. Mereka datang kepada terang karena mereka mengasihi kebenaran dan Allah. Siapa yang ada di dalam Kristus Yesus, ia adalah seorang ciptaan baru, sebab yang lama telah
lalu dan segala sesuatu menjadi baru.
“Akan ada kesukaan keselamatan”. Doa yang yang diutarakan dalam Mazmur adalah untuk pembaharuan “Sehingga umatMu bersukacita karena Engkau” (Mzm.85:7). Keinginan Daud adalah untuk perbaikan sukacita dari keselamatan. Tujuan Yesus yang jelas bagi murid-muridNya ialah “Supaya sukacitaKu ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh” (Yoh.15:11). Pada waktu Filipus turun ke Samaria dan memimpin suatu kebangunan rohani yang besar, Firman Tuhan mengatakan, “Maka sangatlah besar sukacita dalam kota itu” (Kis.8:8). Yesus juga memberitahu kita bahwa di surga ada sukacita, sukacita di hadirat malaikat Allah sebab ada seorang berdosa yang bertobat (Luk.15:7). Demikian juga terhadap Gereja yang disegarkan kembali dan membawa keselamatan puluhan ribu orang berdosa. Hal ini akan membawa sukacita di surga demikian juga di bumi.
Jika surga dan neraka itu tidak ada, saya masih tetap mau menjadi orang Kristen oleh karena kekristenan telah nyata faedahnya bagi keluarga-keluarga dan rumah tangga-rumah tangga kita dalam kehidupan di bumi ini.
“Akan ada kesadaran baru akan tanggung jawab kita bagi penginjilan dunia”. Yohanes Pembaptis menunjuk pendengarnya kepada “Domba Allah” dan dua orang muridnya sejak itu mengikut Yesus (Yoh.1:36, 37). Andreas mula-mula mendapatkan saudaranya sendiri, Petrus, dan memberitahunya bahwa mereka telah menemukan Kristus. Pada waktu Filipus sudah mulai mengikut Kristus ia mencari Natanael (Yoh.1:40-45). Rasul-rasul itu harus bersaksi di mana saja, bahkan sampai kebagian bumi ini yang paling jauh. (Kis.1:8) Dan pada saat penganiayaan menjamah gereja di Yerusalem, mereka mulai tersebar dan mengabarkan Kristus dan Injil ke mana-mana. Salah satu bukti yang pertama dan utama bahwa seseorang yang sungguh percaya, adalah keprihatinannya terhadap orang
lain.
“Akan ada perhatian sosial yang mendalam”. Dalam Mat.22:37-39 Yesus mengatakan, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu … Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Iman kita bukan saja vertikal, tetapi juga mendatar. Kita akan menjadi tertarik akan kepedihan orang-orang di sekitar kita dan mereka yang jauh dari kita. Tetapi saya harus mengatakan kepada dunia yang sungguh-sungguh ingin diselamatkan dari akibat dosanya dan kebodohannya, dunia kekristenan yang sudah dewasa hanya mempunyai satu pesan, “Bertobatlah.” Terlalu banyak orang sekarang ini menginginkan dunia persaudaraan, tapi padahal mereka sendiri tidak mau bersifat saudara; suatu dunia yang sopan di mana mereka dapat hidup tetap tidak sopan. Terlalu banyak individu yang menginginkan ekonomi yang aman tanpa rohaniah yang aman. Tetapi pembangkitan kembali yang kita rindukan harus yang Alkitabiah. Jika pembangkitan itu Kristiani, seharusnya berpusat kepada Alkitab. Jika memang begitu, maka pemimpinnya harus memiliki keberanian Amos untuk mengutuk mereka yang “membeli orang lemah karena uang dan orang yang miskin karena sepasang kasut” (Am.8:6).
Kita harus mengangkat tinggi pengajaran Yesus tentang keadaan moral, etika, dan sosial, setuju bahwa ia memberikan ukuran satu-satunya bagi watak perseorangan dan nasional. Khotbah di bukit adalah untuk hari ini dan setiap hari.Kita tidak dapat membangun peradab
an baru di atas dasar rasa benci dan kepahitan.
“Akan kelihatan makin banyak karunia-karunia dan buah roh” Pembaharuan itu dibawa oleh Roh Kudus, dan pada waktu Ia datang dalam segala kuasaNya atas Gereja, akan ada bukti yang terang dari karunia-karunia dan buah rih. Orang-orang percaya akan belajar apa artinya melayani satu kepada yang lainnya dan saling membangunkan melalui karunia-karunia yang telah diberikan oleh Roh Kudus. Mereka akan diberikan lebih banyak kasih untuk saudara seiman dan untuk dunia yang sesat dan hampir mati. Maka dunia tidak lagi mengatakan bahwa Gereja itu tak berdaya dan membisu. Kehidupan kita tidak lagi kelihatannya biasa dan tidak dapat dibedakan dari orang dunia lainnya. Kehidupan kita akan ditandai oleh karunia-karunia yang hanya dapat diberikan oleh Roh Kudus. Kehidupan kita akan ditandai oleh buah yang hanya dapat dibawa olehNya.
“Ketergantungan kepada Roh Kudus akan diperbaharui”. Sudah ada fakta-fakta yang menunjukkan bahwa hal ini sedang terjadi di banyak tempat di dunia. Tak ada kebangunan rohani yang datang tanpa Dia. Roh Kudus adalah yang membuktikan, meyakinkan, memperjuangkan, mengajar, mengundang, mempercepat, memperbaiki, memperbaharui, menguatkan dan memakai. Ia tidak boleh didukakan, ditentang, dicobai, dipadamkan, dihina, atau dihujat. Ia memberi kebebasan kepada orang Kristen, petunjuk kepada pekerja, kemampuan untuk membeda-bedakan kepada pengajar-pengajar, kuat kuasa kepada firman, dan buah kepada pelayan yang setia. Ia menyatakan hal-hal tentang Yesus Kristus. Ia mengajar kita bagaimana mempergunakan pedang Roh yang adalah Firman Allah. Ia memimpin kita kepada semua kebenaran. Ia menunjukkan cara hidup sesuai dengan kehendak Allah. Ia mengajar kita bagaimana menjawab musuh-musuh Tuhan kita. Ia memberi jalan masuk kepada Bapa. Ia menolong kita dalam kehidupan doa kita.
Ada hal-hal yang tidak dapat dibeli dengan uang ; yang tak dapat dibawakan oleh musik;
yang tidak dapat dituntut oleh kedudukan sosial; yang tidak dapat dijamin oleh pengaruh perseorangan; dan yang tidak dapat dipesan dengan kefasihan lidah. Tak ada pendeta, betapapun cemerlangnya penampilannya; tak ada penginjil, tak peduli betapa pandainya ia berbicara dan memikat pendengarnya, yang dapat memberikan kebangunan rohani yang kita perlukan. Hanya Roh Kudus yang dapat melakukannya. “Bukan dengan keperkasaan dan bukan dengan kekuatan, melainkan dengan Roh-Ku, Firman Tuhan semesta alam”
(Zak.4:6).
Berkat dari kebangunan rohani itu sangat dalam individu maupun dalam masyarakat. Secara tragis, kebangunan rohani ini terlambat untuk menghindarkan Perang Saudara yang mengancam kehidupan bangsa. Tetapi kebaikan dari kebangunan rohani itu tak mungkin disebut satu per satu, di antaranya termasuk banyak gerakan penginjilan dan perbaikan sosial.

6.3. Langkah-langkah menuju KKR.
Jikalau kebangunan rohani adalah keperluan yang terbesar bagi banyak orang Kristen sekarang, bagaimana datangnya? Apakah langkah-langkah yang perlu diambil untuk mendapat kebangunan rohani dalam hidup kita sendiri dan kehidupan orang lain? Menurut saya da tiga langkah yang diajukan oleh Alkitab.
Langkah pertama adalah mengakui kemiskinan kerihanian kita. Kita terlalu sering seperti orang Kristen Laodikia yang buta akan keperluan rohani mereka sendiri, “Engkau berkata: Aku kaya dan aku telah memperkayakan diriku dan aku tidak kekurangan apa-apa, dan karena engkau tidak tahu, bahwa engkau melarat, dan malang, miskin, buta dan telanjang” (Why.3:17).
Adakah dosa dalam hidup kita yang menghalang-halangi pekerjaan Roh Kudus di
dalam dan melalui kita? Jangan terlalu cepat menjawab “tidak.” Kita harus menguji diri kita sendiri dalam terang Firman Allah, dan berdoa bahwa Roh Kudus mau menyatakan kepada kita setiap dosa yang menghalang-halangi kita.Mungkin ada sesuatu yang sedang kita lakukan dan hal itu salah -- satu kebiasaan, suatu hubungan, alasan atau pikiran yang jahat. Mungkin sesuatu yang kita lalaikan—suatu tanggung jawab yang kita elakkan atau suatu perbuatan kasih yang gagal kita lakukan. Apa pun itu, kita harus menghadapinya dengan jujur dan rendah hati dihadapan Allah.
Langkah kedua dalam pembaharuan rohani adalah pengakuan dan pertobatan. Kita mengetahui bahwa kita telah berdosa, tetapi tidak ada usaha apa-apa. Kita perlu membawa dosa kita kepada Allah dalam pengakuan dan pertobatan. Bukan hanya memberitahukan dosa kita di hadapan Allah, tetapi kita harus sungguh-sungguh bertobat dasri dosa itu dan berusaha untuk patuh kepadaNya. Salah satu janji yang terbesar dalam Alkitab adalah 1 Yoh.1:9, “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” Nabi Yesaya mengatakan, “Carilah Tuhan selama Ia berkenan ditemui; berserulah kepadaNya selama Ia dekat! Baiklah orang fasik meninggalkan jalannya dan orang jahat meninggalkan rancangannya; baiklah ia kembali kepada Tuhan” (Yes.55:6, 7).
Langkah ketiga ialah memperbarui penyerahan diri kita untuk mencari dan melakukan kehendak Allah. Kita dapat diyakinkan dari dosa—kita dapat berdoa dan mengakui dosa kita—kita dapat bertobat—tetapi bukti yan sesungguhnya ialah kemauan kita untuk patuh. Bukanlah kebetulan bahwa kebangunan rohani yang benar-benar itu disertai oleh suatu kehausan akan kebenaran. Hidup yang sudah disentuh oleh Roh Kudus tak mau berkompromi dengan dosa lagi.

6.4. Yang menghalang-halangi KKR.
Apakah yang mengahalang-halangi kebangunan rohani dalam hidup Anda sekarang? Akhirnya, tentu itu adalah dosa. Kadang-kadang kita terluka sangat dalam jika menghadapi kenyataan tentang kekurangan kita dalam semangat dan penyerahan secara rohani. Tetapi Allah mau menyentuh kita dan menjadikan kita hamba yang berguna bagi diriNya. “Marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba Suatu pertemuan doa di bawah timbunan rumput kering dan dalam dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita. Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan” (Ibr.12:1, 2)

7. Mengunjungi anak yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan.
Dalam Yak.1:17. Yakobus memberikan dua prinsip yang mendefinisikan isi dari ibadah kekristenan yang sejati.
Pertama, kasih yang sungguh-sungguh terhadap mereka yang memerlukan pertolongan. Di zaman PB, anak-anak yatim dan piatu serta janda-janda hamper tidak ada peluang untuk mencari nafkah; mereka seringkali tidak memiliki pelindung atau penolong. Orang Kristen diharapkankan untuk menunjukkan kepedulian dan kasih yang ditunjukkan Allah terhadap orang yatim dan piatu serta janda-janda (Ul.10:18; Mzm.146:9; Mat.6:32 bd. Ul.24:17-22).
Dewasa ini diantara saudara seiman kita ada yang membutuhkan kasih yang butuh perhatian. Kita harus berusaha untuk mengurangi kesedihan mereka dengan demikian menunjukkan kepada mereka bahwa Allah juga memperhatikan mereka (Luk.7:13 bd. Gal.6:10).
Kedua, memelihara kekudusan kita dihadapan Allah. Yakobus mengatakan bahwa kasih terhadap sesama harus disertai oleh kasih terhadap Allah yang terungkap dalam pemisahan dari cara dunia yang penuh dosa. Kasih terhadap sesama harus disertai dengan kekudusan di hadapan Allah, jikalau tidak demikian itu bukanlah kasih Kristen.
8. Tanggung jawab Kristen kepada orang miskin dan melarat.
Dalam PB, Allah juga memerintahkan umat-Nya untuk menunjukkan perhatian yang mendalam kepada orang yang miskin dan kekurangan, khususnya mereka yang ada di dalam gereja :
Sebagian besar pelayanan Yesus adalah kepada orang miskin dan yang kurang beruntung di dalam masyarakat Yahudi yang kelihatannya tidak diperdulikan orang – seperti mereka yang tertindas (Luk.4:18-19),Orang Samaria (Luk.17:11-19; Yoh.4:1-42), orang yang berpenyakit kusta (Mat.8:2-4; Luk.17:11-19); para janda (Luk.7:11-15; 20:45-47) dan sebagainya. Ia mengecam dengan keras kepada mereka yang berpegang teguh kepada harta duniawi dan mengabaiakan orang miskin (Mrk.10:17-25; 12:16-20; 16:13-15,19-31).
Yesus beranggapan dan mengharapkan umat-Nya akan memberi dengan murah hati kepada orang miskin dan serba kekurangan (Mat.6:1-4). Yesus sendiri melakukan apa yang diajarkan-Nya, dengan sengaja membawa sebuah pundi-pundi yang digunakan untuk memberi kepada orang miskin (Yoh.12:5-6; 13:29). Lebih dari satu kali Ia memerintahkan orang yang mau jadi pengikut-Nya untuk memperhatikan orang miskin, menolong mereka dan memberi mereka uang (Mat.19:21; Luk.12:33; 14:12-14, 16-24; 18:22). Pemberian itu tidak dipandang sebagai bersifat pilihan oleh Yesus, sebenarnya salah satu tuntutan-Nya adalah untuk memasuki kerajaan-Nya yang kekal ialah apakah kita sudah berbuat baik hati kepada saudara yang lapar, dahaga dan telanjang (Mat.25:31-46).
Rasul Paulus dan gereja mula-mula yang menunjukkan kepedulian yang mendalam bagi mereka yang perlu bantuan. Pada awal pelayanan Paulus, ia bersama barnabas, mewakili gereja Antokhia di Siria, membawa persembahan ke Yerusalem untuk orang Kristen yang kekurangan di Yudea (Kis.11:28-30). Ketika diadakan siding di Yerusalem, para pemimpin menolak untuk bahwa sunat diperlukan untuk menerima keselamatan, tetapi mereka menganjurkan agar Paulus dan kawan-kawannya ‘tetap mengungat orang-orang miskin dan memang itulah yang sungguh-sungguh ku usahakan melakukannya” (Gal.2:10). Salah satu tujuannya pada perjalanan misi yang ketiga ialah mengumpulkan uang bagi “orang-orang miskin diantara para orang-orang kudus di Yerusalem” (Rom.15:26). Paulus memberi pengarahan kepada gereja-gereja di Galatia dan Korintus untuk menyumbangkan bagi kepentingan ini (1Kor.16:1-4). Ketika gereja diKorintus tidak memberi sebagaimana seharusnya, Paulus menasihati mereka panjang lebar tentang menolong orang miskin dan melarat (2 Kor.8-9). Ia memuji jemaat di Mekadonia yang telah memohon dengan sangat kepada Paulus agar diizinkan mengambil bagian dalam pelayanan ini (2 Kor.81-4; 9:2). Paulus memandang hal memberi sedemikan penting sehingga menyatakan dalam kitab Roma, bahwa salah satu karunia Roh Kudus kepada orang Kristen adlah kemampuan untuk memberi dengan kemurahan bagi keperluan pekerjaan atau umat Allah (Rm.12:8, bd.1 Tim.6:17-19).
Prioritas kita dalam pemeliharaan orang miskin dan kekurangan ailah saudara-saudara kita di dalam Kristus. Yesus menyamakan pemberian kepada sesame yang beriman dengan memberi kepada-Nya. (Mat.25:40, 45; Gal.6;10). Gereja yang mula-mula mendirikan masyarakat yang saling memperdulikan dan berbagai harta milik untuk menolong memenuhi kebutuhan masing-masing (Kis.2:44-45; 4:34-37). Ketika pertambahan gereja tidak lagi memungkinkan para rasul untuk mengurus orang yang kekurangan dengan cara yang adil dan pantas, maka tujuh orang yang penuh dengan Roh Kudus dipilih untuk tugas itu (Kis.6:1-6). Paulus menyatakan prinsip masyarakat yang saling memperdulikan secara jelas, “Selama ada kesempatan bagi kita marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi yang terutama kepada kawan-kawan kita seiman” (Gal.6:10). Allah ingin agar orang yang mempunyai banyak membaginya dengan mereka yang memerlukan bantuan, supaya ada keseimbangan diantara umat Allah (2 (Kor.8:14-15; bd.Ef.4:28; Tit.3:14). Jadi sebagai rangkuman , Alkitab tidak memberikan pilihan kepada kita selain bersifat peka pada kebutuhan materiel dari orang-orang disekeliling kita, khususnya dari saudara-saudara seiman di dalam Kristus Yesus.














BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan.
Tujuan dari kuasa Pentakosta adalah penginjilan. “Tetapi kamu akan menerima kuasa bilaman Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-saksi-Ku” (Kis. 1:8). Prioritas tertinggi setiap orang Kristen adalah menjadi seorang pemenang jiwa, dan Salomo memberi jaminan kepada kita bahwa “siapa bijak, mengambil hati orang” (Ams.11:30). Bukti pertama dari kuasa adikodrati adalah pemenangan jiwa. Tanpa itu, orang Kristen bagaikan pohon tanpa buah, sumur tanpa air, dan awan tanpa hujan.
Pengajar Alkitab Harold Willmington menulis sebuah poin yang hebat dalam bukunya The King Is Coming. Menurut Willmington, kisah Pentakosta mengandung sebuah kebenaran yang sangat praktis dan bersifat nubuat.
Menurut Kisah Para Rasul 2, Jemaat yang pertama ditambahkan ke dalam tubuh Kristus pada hari Pentakosta. Betapa sebuah peristiwa besar, dengan 3.000 orang yang menjawab “Panggilan untuk bertobat dari” Petrus! Dan Allah tetap menyediakan 120 “Pekerja” untuk melayani mereka (Kis.1:15, 2:1). Kita tahu bahwa Allah sendiri mendokumentasikan semuanya. Mungkin suatu hari nanti di kursi penghakiman Kristus salah satu dari 120 orang ini akan mendengar Tuhan Yesus berkata: “Sangat baik, hai engkau hamba yang baik dan setia. Engkau telah membawa jiwa pertama ke dalam tubuh rohani itu!”
Jika ini benar, dan jika kedatangan Kristus sudah dekat, maka sangatlah mungkin bahwa seorang pemenang jiwa yang membaca kata-kata ini suatu hari nanti mungkin mendengar perkataan yang serupa dari Yesus: “Sangat baik, hai engkau hamba yang baik dan setia. Engkau telah membawa jiwa terakhir ke dalam tubuh rohani itu!” Bagaimanapun, suatu hari seorang pemenang jiwa akan mengarahkan pendosa yang sedang mencari-cari kepada Sang Juruselamat dan semua pencarian itu akan berakhir?7
Apa yang akan Yesus katakan ketika Anda berdiri di hadapan Sang Juruselamat?
Sebuah gambaran terakhir yang ditemukan dalam Hari Raya Pentakosta. Sebagaimana pemberian Hukum Allah adalah sebuah ‘pelatihan’ dan pemberian Roh, keseluruhan pengalaman Pentakosta adalah sebuah bagian dari “Pelatihan Pernikahan” kita untuk pernikahan Anak Domba. Ketika anda menerima Kristus dan dibabtis dengan Roh-Nya, dan menjadi tunangan dari Anak Domba.
Gambaran tentang sebuah pernikahan Ibrani kuno dibagi dalam dua tahap : Tahap pertama adalah pertunangan, di mana mempelai wanita dan mempelai pria disatukan secara legal, namun mereka tidak tinggal bersama. Perjanjian tertulis pertunangan disebut ketubah, dan tidak dapat diputus tanpa perceraian yang sah, yang disebut get.
Anda mungkin teringat pada kisah Natal di mana Maria dan Yusuf sedang bertunangan ketika Maria mengandung Yesus., Karena khawatir bahwa calon mempelainya mengandung anak dari laki-laki lain, Yusuf tergoda untuk menceraikan secara berdiam-diam hingga seorang malaikat berbicara kepadanya dalam sebuah mimpi dan memberitahunya bahwa Maria mengandung Anak Allah.
Tahap kedua dari sebuah pernikahan Ibrani adalah penyempurnaan pernikahan. Mempelai pria mempersiapkan sebuah tempat bagi mempelai wanitanya, dan kemudian pergi ke rumah ayah mempelai wanita untuk menjemputnya. Di tengah-tengah sukacita yang besar, mempelai pria kembali bersama mempelai wanitanya, memanggil sahabat-sahabatnya, dan mengadakan sebuah perayaan perjamuan malam pernikahan.
Yeremia 2:2-3 memberi tahu kita bahwa di Gunung Sinai, Allah sendiri bertunangan dengan Israel.
Aku teringat kepada kasihmu pada masa mudamu,
kepada cintamu pada waktu engkau menjadi pengantin,
bagaimana engkau mengikuti Aku di padang gurun,
di negeri yang tiada tetaburannya,
Ketika itu Israel kudus bagi TUHAN
sebagai buah bungaran dari hasil tanah-Nya.

Torah atau pengajaran, yang Allah berikan kepada Israel di Gunung Sinai adalah sebuah perjanjian pertunangan. Sebagaimana pernikahan adalah sebuah perjanjian, atau sebuah persetujuan di antara dua orang, demikian juga perkataan-perkataan yang ditulis oleh Musa membentuk sebuah perjanji pernikahan di antara Allah dan Israel.
Lalu Musa menuliskan segala firman TUHAN itu. Keesokan harinya pagi-pagi didirikannyalah mezbah di kaki gunung itu, dengan dua belas tugu sesuai dengan kedua belas suku Israel …… Diambilnyalah kitab perjanjian itu, lalu dibacakannya dengan didengar oleh bangsa itu dan mereka berkata : “Segala Firman TUHAN akan kami lakukan dan akan kami dengarkan.” Kemudian Musa mengambil darah itu dan menyiramkannya pada bangsa itu serta berkata : “Inilah darah perjanjian yang diadakan TUHAN dengan kamu, berdasarkan segala firman ini” (Kel.24:4, 7-8).

Namun ketika Musa turun dari gunung, bangsa Israel yang baru saja bertunangan telah meninggalkan kasih mula-mulanya. Para pemimpinnya menari mengelilingi patung anak lembu emas, kasihnya telah terkikis menjadi ketidaksetiaan. Dalam sebuah ledakan kemarahan yang benar, Musa membanting loh batu yang di atasnya Allah sendiri telah
menulis, menghancurkan dokumen perjanjian dengan Israel (Kel.32 :15-19).
Allah memperbaharui perjanjian dengan Israel (Kel.34 :10-28), namun Musalah,
bukan Allah, yang menulis di atas loh batu yang kedua. Hati mempelai wanita yang berubah-ubah mengganggu “pelatihan pernikahan”, namun kasih Allah adalah kasih yang kekal. Sebagaimana yang akan kita lihat dalam bahasan selanjutnya, rencana pernikahan tersebut masih berlaku.
Orang Kristen bertunangan dengan Kristus melalui sebuah perjanjian yang baru, yang dituliskan di dalam hati kita dan dikuduskan oleh Kristus. Kita mengasihi Seorang Mempelai pria surgawi yang belum pernah kita lihat, dan percaya bahwa Ia mungkin datang setia saat.
Hari ini Anak Allah, Yesus Kristus, menunggu saat-saat kedatanganNya untuk menjemput mempelai wanitaNya. Ketika Ia datang untuk menjemputnya, semua orang yang telah percaya kepadaNya, orang Yahudi maupun bukan Yahudi, akan pergi bersamaNya ke sebuah tempat yang telah disiapkanNya. Jika Anda adalah seorang pemercaya di dalam Kristus, sebuah tempat di pesta perjamuan malam pernikahan telah dipesan untuk Anda.
Akan tetapi, kita tidak boleh terlalu terpusat pada hal-hal surgawi sehingga kita melupakan satu fakta penting. Tujuan Pentakosta adalah penginjilan. Kuasa Pentakosta diberikan sehingga Anda dapat menjadi saksi bagi Kristus di Yerusalem Anda, Yudea Anda, dan Samaria Anda.
Bagaimana Anda dapat menjadi seorang saksi yang setia nantinya? Semua orang yang Allah bawa ke dalam jalan Anda adalah sebuah penunjukan Ilahi; tidak ada “kebetulan” bagi seorang pemercaya. Dan segera, sangat segera, seseorang seperti Anda akan membawa jiwa yang terakhir kepada Kristus sebelum Ia kembali ……..“Bukanlah kamu mengatakan,” tanya Yesus,” ‘Empat bulan lagi tibalah musim menuai’? Tetapi aku berkata kepadamu : Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah
menguning dan matang untuk dituai!” (Yoh.4:35),

2. Saran-saran
James A. Stewart telah berkata, “Gereja yang perlu dibangunkan ialah gereja yang kehidupannya di bawah normal pola Perjanjian Baru … Sebagian besar orang Kristen sekarang hidup dalam suatu kehidupan Kristen di bawah normal dan ini merupakan fakta yang tragis sekali … Gereja tidak akan pernah menjadi normal sebelum dia mengalami kebangunan kembali.
Apakah Anda hidup dalam kehidupan Kristen yang dibawah normal – kehidupan yang tidak efektif, suam-suam, dan kurang kasih bagi Kristus dan bagi sesama? Biarlah Allah Roh Kudus membawa Anda dalam merendahkan diri kepada Allah, mengaku dosa dan mencari wajahNya. Biarlah Ia menyentuh Anda sewaktu Anda menyerahkan diri Anda kepadaNya. Orang-orang Kristen yang sungguh menyerahkan hidup sepenuhnya adalah keperluan yang paling besar dalam dunia sekarang ini.
Lebih dari 100 tahun yang lalu, dua pemuda sedang bercakap-cakap di Irlandia. Yang satu mengatakan. “Dunia ini belum melihat apa yang akan diperbuat Allah dengan seorang yang mengabdikan diri sepenuhnya kepadaNya.” Pemuda lainnya merenungkan pernyataan itu beberapa minggu. Hal itu sungguh memikat dia sampai pada suatu hari ia berseru, “Oleh Roh Kudus di dalam saya, saya akan menjadi orang itu.” Sekarang ahli-ahli sejarah mengatakan bahwa ia menyentuh dua benua bagi Kristus, namanya ialah Dwight L. Moody.
Hal ini dapat terjadi lagi, jika kita membuka kehidupan kita kepada kuasa dari Roh Kudus untuk menciptakannya kembali. Tak ada orang yang dapat mencari dengan sungguh-sungguh penyucian dan berkat Roh Kudus, dan tetap sama sesudah itu. Tak ada bangsa yang dapat mengalami sentuhan kebangunan rohani di tengah-tengahnya, dan tetap sama sesudah itu.
Seperti yang telah kita lihat dalam skripsi ini, Pentakosta menjadi hari kuasa dari Roh Kudus. Itu adalah hari kelahiran Gereja Kristen. Kita tidak mengharapkan Pentakosta itu terulang lagi; sama seperti kita tahu Yesus tidak perlu mati disalib lagi. Tetapi kita mengharapkan berkat Pentakosta bila syarat-syarat gerakan Allah dipenuhi, dan khususnya pada waktu kita mendekati “akhir zaman.”
Kita sebagai orang Kristen harus menyiapkan jalan. Kita harus siap untuk dipenuhi dan dipakai Roh.










DAFTAR PUSTAKA

Alkitab, Jakarta: LAI, 1999
Alkitab Penuntun, Jakarta : LAI & Gandum Mas, 2004
John Hagee, Kemuliaan-Nya dinyatakan Jakarata : YPI “Immanuel”, 2000
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2003
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 3, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1999
Hebraic heritage Ministries Internatonal’s Web page:http://www.geocities.com/heartland
Schauss, The Jewis Festivals
Knobel, Gates of the seasons
David C.Gross, How to be Jewis
Harod Wilmington, The King Is Coming
Billy Graham, Roh Kudus, Jakarta: Lembaga Literatur Baptis, 2002
John Stott, Baptisan dan Kepenuhan, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/ Omf ,1999
Ev.William Caldwell, Batisan Pentakosta, Malang: Gandum Mas, 2000
Homan Rubyono,M.A, Dari baptisan Roh menuju Kepenuhan Roh, Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1993
Leon Moris, Teologo Perjanjian Baru. Malang: Gandum Mas, 2001









DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI
Nama : Jannes Marbun
Tempat, Tgl. Lahir : Suka Damai, 3 Maret 1964
Alamat : Dsn. 16 Desa Suka Damai
Kec. Sei Banban
Kab. Serdang Bedagai
Status : Sudah menikah
Istri : Nurliana Butar-Butar
Anak : 1. Tobo Gery Marbun
2. Empathy Geovani Marbun
3. Anugerah Babtista Marbun

II. PENDIDIKAN
1. SD Negeri No. 1/102045 Suka Damai, tamat tahun 1977 Berijazah
2. SMP Negeri 2 Tebing Tinggi, tamat tahun 1981 Berijazah
3. STM Negeri 1 Medan, tamat tahun 1984 Berijazah
4. Strata-1, Universitas Simalungun, tamat tahun 2002 Berijazah
5. Strata-1, Sekolah Tinggi Teologi Bethsaida - Medan, tamat tahun 2007 Berijazah

III. PELAYANAN
1. Tahun 1998 – sekarang, Pembantu Umum di Wilayah Tebing Tinggi & Serdang Bedagai.
2. Tahun 2008, Pendeta Muda di Gereja Pentakosta Indonesia Sidang Sukadamai Kec.Sei Banban Kab.Serdang Bedagai (Sumut)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Betway Online Casino in India | Kadangpintar
Betway 바카라 Online Casino has its own selection of online casinos to play the best games from. Enjoy the best betting 샌즈카지노 odds and play kadangpintar with